KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah membimbing kami menyelesaikan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan dan petunjukNYA, penyusun tidak akan
menyelesaikan makalah ini dengan penuh kelancaran.
Makalah
ini kami susun agar pembaca dapat memahami tentang Ekonomi Dalam Islam.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
banyak membantu penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah
yang sederhana ini dapat memberi wawasan dan pemahaman yang luas kepada
pembaca.
Penyusun
menyadari makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga kami masih
mengharap kritik dan saran dari para pembaca.
Terimakasih.
Malang, 03 Mei 2014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam sebagai system hidup (way of life)
dan merupakan agama yang universal sebab memuat segala aspek kehidupan baik
yang terkait dengan aspek ekonomi, social, politik dan budaya. Seiring dengan
maju pesatnya kajian tentang ekonomi islam dengan menggunakan pendekatan
filsafat dan sebagainya mendorong kepada terbentuknya suatu ekonomi berbasis
keislaman yang terfokus untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang
di ilhami oleh nilai-nilai islam.
Adapun bidang kajian yang terpenting
dalam perekonomian adalah bidang distribusi. Distribusi menjadi posisi penting
dari teori ekonomi mikro baik dalam ekonomi islam maupun kapitalis sebab
pembahasan dalam distribusi ini tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka.
Tetapi juga aspek social dan politik sehingga menjadi perhatian bagi aliran
pemikir ekonomi islam dan konvensional sampai saat ini.
Pada saat ini realita yang nampak adalah
terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan
kekayaan baik di Negara maju atau Negara – Negara berkembang yang mempergunakan
system kapitalis sebagai system ekonomi negaranya, sehingga menciptakan
kemiskinan di mana – mana. Menanggapi kenyataan tersebut islam sebagai agama
yang universal diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan
sekaligus menjadi system perekonomian suatu Negara.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
dampak distribusi dalam ekonomi islam ?
2. Apa
sajakah bentuk-bentuk distribusi yang dilarang oleh islam ?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mengetahui dampak distribusi
dalam ekonomi
islam.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk
distribusi yang dilarang oleh islam.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. PENGERTIAN
DISTRIBUSI DALAM ISLAM
Secara umum Islam mengarahkan mekanisme
berbasis moral dalam pemeliharaan keadilan sosial dalam bidang ekonomi, sebagai dasar pengambilan keputusan dalam bidang
distribusi, sebagaimana telah diketahui bahwasanya Nabi Muhamad SAW terlahir
dari keluarga pedagang dan beristrikan seorang pedangan (siti khatijah) dan
beliau berdagang sampai negeri syiria, saat beliau belum menikah dengan
khatijah beliau merupakan salah satu bawahan siti khatijah yang paling dikagumi
oleh siti khatijah pada masa itu karena teknik pemasaran beliau. Pada saat itu
Nabi Muhamad SAW telah mengajarkan dasar-dasar nilai pendistribusian yang benar
yaitu dengan kejujuran dan ketekunan.
Adapun landasan-landasan dalam hal
distribusi dalam islam antara lain sebagai berikut:
·
Tauhid
Yaitu
konsep ketuhanan yang maha esa, yang tidak ada yang wajib di sembah kecuali
Allah dan tidak ada pula yang menyekutukannya, konsep ini menjadi dasar segala
sesuatu karena dari konsep inilah manusia menjalankan fungsinya sebagai hamba
yang melakukan apa yang diperintahkannya dan menjauhi larangannya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT QS Al-Zumar ayat 38 yang artinya:
“dan sesungguhnya jika
kamu bertanya kepada mereka: “siapakah yang menciptakan langit dan bumi?””
niscaya mereka akan menjawab, “Allah”. Katakanlah :”maka terangkan padaku
tentangb apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemadharatankepadaku,
apakah berhala-berhala itu akan menghilangkan kemadharatan itu, atau jika Allah
akan memberikan rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatnya?”,
katakanlah: “cukuplah Allah bagiku.” (QS Al-Zumar: 38)
·
Adil
Menurut
bahasa adalah “wadh’u syaiin ‘ala mahaliha” yaitu meletakan sesuatu pada
tempatnya, konsep keadilan haruslah diterapkan dalam mekanisme pasar untuk
menghindari kecurangan yang dapat mengakibatkan kedzaliman bagi satu pihak. Fiman Allah dalam surat al-Muthafifin ayat 1-3 yang artinya:“kecelakaan
besarlah bagi orang-orang curang, yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka meminta dipenuhi, apabila mereka menakar untuk orang lain mereka
kurangi”
·
Kejujuran dalam bertransaksi
Syariat islam sangat
konsen terhadap anjuran dalam berpegang teguh terhadap nilai-nilai kejujuran
dalam bertransaksi. Firman Allah dalam surah al-Ahzab ayat 70 dan 71:
Maksudnya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah, dan katakanlah perkataan yang tepat – benar (dalam segala perkara).
Supaya Ia memberi taufik dengan menjayakan amal-amal kamu, dan mengampunkan
dosa-dosa kamu".
B. PRINSIP
DISTRIBUSI
Distribusi harta kekayaan merupakan
masalah yang sangat urgen dalam mewujudkan pemerataan ekonomi masyarakat.
Pentingnya distribusi harta kekayaan dalam ekonomi islam tidak berarti tidak
memperhatikan keuntungan yang di peroleh dari produksi. Maka dalam distribusi,
ada beberapa prinsip dasar, yaitu sebagai berikut :
1. Prinsip
keadilan atau pemerataan
·
Kekayaan tidak boleh dipusatkan pada
sekelompok orang saja, tetapi harus menyebar kepada seluruh masyarakat.
·
Macam-macam factor produksi yang
bersumber dari kekayaan nasional harus dibagi secara adil. Islam menginginkan
persamaan kesempatan dalam meraih harta kekayaan, terlepas dari tingkatan
social, kepercayaan dan warna kulit. Islam menjamin akan tersebarnya harta
kekayaan di masyarakat dengan adanya distribusi yang adil.
2. Prinsip
persaudaraan atau kasih sayang
·
Menggambarkan adanya solidaritas
individu dan social dalam masyarakat islam, bentuk nyata ini tercermin pada
pola hubungan sesame muslim. Rasa persaudaraan sejati yang tidak akan
terpecah-belah oleh kekuatan-kekuatan duniawi inilah yang mempersatukan
individu kedalam masyarakat.
·
Peradaban manusia mencapai tingkat universalitas
yang sesungguhnya, yaitu adanya saling bersandar, saling membutuhkan yang
dihayati oleh seorang muslim maupun masyarakat islam yang akan memperkokoh
solidaritas seluruh anggota masyarakat dalam aspek kehidupan yang termasuk juga
aspek ekonomi.
3. Prinsip
jaminan sosial
·
Prinsip pokok dalam distribusi kekayaan.
Tidak hanya sebagai prinsip semata, melainkan menggariskan dan menentukannya
dalam sistem yang sempurna seperti zakat, sedekah, dll.
·
Prinsip ini memuat beberapa elemen
dasar, yaitu: pertama, bahwa SDA harus dinikmati oleh semua makhluk Allah.
Kedua, adanya perhatian terhadap fakir miskin terutama oleh orang yang punya
uang. Ketiga, kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar pada kalangan
orang kaya saja. Keempat, perintah untuk berbuat baik kepada orang lain.
kelima, orang islam yang tidak punya kekayaan harus mampu dan mau menyumbangkan
tenaganya untuk kegiatan social. Keenam, larangan berbuat baik karena ingin
dipuji orang (riya’). Ketujuh, jaminan social itu harus diberikan kepada mereka
yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai pihak yang berhak atas jaminan
social itu.
a) Larangan
Riba
Pelarangan riba merupakan
permasalahan penting dalam ekonomi Islam, terutama karena riba secara jelas
dilarang dalam al-Qur’an. Jika dihubungkan dengan masalah distribusi, maka riba
dapat mempengaruhi meningkatnya masalah dalam distribusi, yakni: berhubungan
dengan distribusi pendapatan antara bankir dan masyarakat secara umum, serta
nasabah secara khusus dalam kaitannya dengan bunga bank.
Lalu bagaimana jika suatu bank
mengalami penurunan pendapatan? Sedangkan sebagaimana yang kita ketahui, bank
syariah hanya mengandalkan prinsip bagi hasil yang tergantung pada perolehan
laba nasabah. Jika terjadi kecurangan nasabah yang memalsukan perolehan
labanya, dan hanya melakukan bagi hasil dengan bank sejumlah nominal yang
sedikit, maka dalam jangka panjang yang terjadi adalah bank mengalami gulung
tikar. Jika tidak, maka bank terpaksa mengabil bunga untuk menyelamatkan nasib
bank.
b) Larangan
Menumpuk Harta
Islam membenarkan hak milik
pribadi, namun tidak membenarkan penumpukan harta benda pribadi sampai
batas-batas yang dapat merusak fondasi sosial Islam.Apabila terjadi yang
demikian, maka pemerintah dibenarkan, dengan kekuasaannya, untuk mengambil
secara paksa harta tersebut demi kepentingan masyarakat.
Jika sekarang sesuai dengan prinsip
larangan menumpuk harta diatas, seharusnya dalam masyarakat akan terjadi
pengambilan harta secara paksa terhadap masyarakat yang mampu untuk diserahkan
sebagian hartanya kepada masyarakat yang membutuhkan. Tetapi itu tidak
terealisasikan.
C. TUJUAN
DISTRIBUSI
Distribusi sama dengan produksi dan
konsumsi yang mana mempunyai tujuan, diantara tujuan-tujuan itu adalah :
a) Menjamin
terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat.
Moral yang paling penting dan efektif yang Allah
perintahkan adalah untuk menyebarkan kesejahteraan nasional melaui prinsip
andak al-afw ( kekayaan yang melebihi kebutuhan yang tersisa setelah semua
kebutuhan terpenuhi). Orang islam diperintahkan untuk memberikan hartanya
sampai kebutuhan fakir miskin terpenuhi.
b) Mengurangi
ketidak-samaan pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat.
Tujuan yang kedua adalah untuk mengurangi
ketidaksamaan pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat. Apabila terjadi
perbedaan ekonomi yang mencolok antara yang kaya dan miskin akan mengakibatkan
adanya sifat saling benci yang pada akhirnya melahirkan sikap permusuhan dan
perpecahan dalam masyarakat.
c) Untuk
mensucikan jiwa dan harta.
Untuk mensucikan jiwa dan harta orang yang melekukkan
derma (amal). Orang yang mampu mendistribusikan hartanya akan terhindar dari
sifat kikir, dan akan menguatkan tali persaudaraan antar sesame manusia.
d) Untuk
membangun generasi yang unggul.
Distribusi juga bertujuan untuk membangun generasi
penerus yang unggul, khususnya dalam bidang ekonomi, karena generasi muda
merupakan penerus dalam sebuah kepemimpinan suatu bangsa.
e) Untuk
mengembangkan harta.
Pengembangan
ini dapat dilihat dari dua sisi. Yang pertama, sisi spiritual, berdasarkan
firman Allah dalam Al-Qur’an (Allah hendak memusnahkan Riba dan menyuburkan
sedekah). Kedua, sisi ekonomi, dengan adanya distribusi harta kekayaan maka
akan mendorong terciptanya produktivitas, daya beli dalam masyarakat akan
meningkat.
D.
DISTRIBUSI OLEH NEGARA
Peran pemerintah dalam ekonomi
tergantung pada tujuan-tujuan ekonomi yang khas. Oleh karena itu, agar
pembahasan ini berjalan dengan teratur, maka sebaiknya kita membahas dahulu
mengenai tujuan-tujuan ekonomi Islam.
Allah telah memerintahkan untuk
menegakkan keadilan dan persamaan dalam seluruh aspek kehidupan kita. Kita
harus menjamin keadilan dan perilaku yang baik tidak hanya bagi individu saja
tetapi juga hadir dalam aspek sosial-ekonomi.
Tujuan yang lain dari ekonomi Islam
adalah memaksimumkan penggunaan sumber-sumber daya, kebebasan bekerja dan
berpenghasilan dan membangun martabat manusia, dan lain sebagainya, yang semua
itu untuk membantu dalam pencapaian prinsip dan tujuan utama dari ekonomi Islam
–mendirikan ekonomi dan keadilan sosial. Oleh karena
itu seluruh pertimbangan ekonomi yang lainnya seharusnya dianggap
sebagai secondary prinsip dan tujuan utama pendirian keadilan dan sosial
ekonomi. Dan tidak boleh mengizinkan operasi dan aktivitas ekonomi yang akan
merusak riil dan kemurnian ekonomi dan keadilan sosial.
1.
Illegal
Property (Kekayaan Bathil)
Bukanlah menjadi
kewajiban pemerintahan Islam untuk melindungi harta atau kekayaan yang
dihasilkan melalui cara yang tidak sah, akan tetapi pemerintahan Islam akan
mengambil alih kekayaan itu semata-mata karena harta itu dilarang oleh Islam.
Seluruh harta illegal dalam Islam haram dan dilarang dan mengeliminasi yang
haram dan yang mungkar adalah tanggungjawab yang prinsipil bagi pemerintahan
Islam. Oleh karena itu, salah satu tugas penting pemerintahan Islam harus
menggganti kekayaan yang dibuat dengan illegal dan mengembalikannya ke
pemiliknya atau menyimpannya pada Baitulmaal. Untuk tujuan inilah memeriksa
seluruh ketidakteraturan yang ada diperlukan didirikannya lembaga Hisbah.
(Almawardi; Ahkamul Sultania).
Kebebasan Islam akan
pekerjaan dan mata pencaharian tidak berarti bahwa seseorang dapat
menggunakannya dalam perdagangan binis yang merusak masyarakat. Hal ini tidak
diizinkan dalam keadaaan apapun karena tidak sesuai dengan syari’ah Islam
Oleh karena itu,
pemerintah Islam harus memeriksa penimbunan yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan dan untuk tujuan ini maka perlu adanya undang-undang yang
berlaku. Tentu saja, sebuah hukum tidak dapat menciptakan rintangan dan
penghalang dari melakukan bisnis yang normal. Contoh, ketika panen padi datang,
maka para petani menaruh padinya dalam jumlah besar dan waktu yang cukup lama,
dan ini dibolehkan. Akan tetapi ketika supply itu berkurang periode penyimpanan
dan jumlah kuantitasnya boleh dikurangi oleh pemerintah.
2.
Keuntungan
yang Berlebihan (Profiteering)
Para Fuqaha
berpendapat tentang nilai-nilai Islam pada keuntungan yang sah harus memenuhi
beberapa keadaan dasar:
Profit yang sah harus
didapatkan tanpa mempengaruhi operasi mekanisme pasar seperti kekuatan demand
dan supply yang berjalan secara bebas. Profit yang sah adalah kondisi dimana
perpindahan barang-barang yang keluar maupun yang masuk pasar tidak dipengaruhi
secara tak wajar. Profit adalah apa yang pengusaha dapatkan setelah memberikan
hak gaji/upah pada tenaga kerja yang bekerja diperusahaan, di ladang pertanian
dan tempat kerja lainnya.
Profit menjadi sah
yang seharusnya mengambil pertimbangan daya beli (purchasing power) pembeli.
Inilah apa yang didapatkan pengusaha setelah menjual barang-barangnya dengan
harga yang wajar.
Ketika profit
memenuhi kriteria diatas, mungkin diistilahkan menjadi profit yang adil oleh
karena itu pemerintah harus mengambil tindakan keras pada pengusaha-pengusaha
dan pemilik industri yang ingin mempengaruhi market demand and supply dalam
sebuah cara yang tidak normal, tidak menunaikan hak-hak pekerja dan ingin
membuat keuntungan yang berlebihan (excessive profit) dengan mengeksploitasi
pembeli. Tindakan ini bisa saja dengan cara dan jalan yang berbeda.
Untuk itu, pemerintah
juga harus memformulasikan hukum-hukum untuk melindungi hak-hak yang adil pada
pekerja dan harus memaksa pemilik bisnis untuk mentaati hukum tersebut. Untuk
menjadikan harga turun, pemerintah seharusnya mengambil tindakan aturan-aturan
dan regulasi ekonomi normal. Jika tidak mungkin meningkatkan produksi lokal,
maka langkah yang seharusnya diambil untuk menigkatkan supply dengan megimpor
lebih dari luar negeri.
3.
Kontrol
Harga
Jika langkah-langkah
tadi tidak bekerja, pemerintah akan harus mengambil langkah selanjutnya,
mengontrol harga. Tugas pemerintah yang fundamental ini untuk mengakhiri dan
menghilangkan penderitaan dan penindasan masyarakat. Tugas ini dilaksanakan
dalam keadaan normal seperti sistem ekonomi yang bebas tanpa
ada batasan selama tidak menindas pihak lain. Tetapi jika para pedagang
menaikan harga komoditas secara illegal dan jika tindakannya itu membuat
penderitaan yang tak dapat ditahan oleh masyarakat maka harga barang-barang itu
harus ditetapkan harganya. Pandangan ini telah didukung oleh sejumlah fuqaha:
“Negara mempunyai kekuasaan yang
dibutuhkan secara sah untuk menetapkan harga barang-barang dalam keadaaan
tertentu dan dasar otoritas legal negara ini adalah prinsip yang fundamental
yaitu penting untuk menghapuskan penderitaan orang.”(Ibn Nadim Hanafi: Al-Isba
wa An-Nadzir)
Shah Waliyullah dalam
masalah ini berkomentar, “saya ingin mengatakan bahwa menegakkan seperti
keadilan yang tidak seorangpun yang lebih dekat atau sama dekat dengan keadilan
seratus persen dan hal itu sulit. Untuk itulah Nabi Muhammad saw sangat
berhati-hati agar para pembuat kebijakan tidak kembali pada prinsip penetapan
harga dengan aturan yang umum. Tetapi, jika ada penindasan terbuka atau jelas
yang dilakukan komunitas pengusaha, maka dalam hal ini boleh untuk menetapkan
harga. (Shah Waliyullah: Hujjatullahil Baliga)
4.
Monopoli
dan Kartel
Sekarang ini, banyak
industri-industri yang membentuk kartel dan industri yang menjadi monopoli,
dengan cara demikian eksploitasi masyarakat pun terjadi. Ketika produsen
mempunyai kontrol penuh terhadap produknya, maka ini disebut monopoli. Situasi
monopoli mungkin juga muncul jika hanya ada beberapa orang mempunyai kontrol
atas produknya. Ketika produsen mengorganisasikan dalam sebuah asosiasi untuk
mengontrol produksi, harga, dan pasar, maka keadaan ini disebut kartel.
Memang ada beberapa
keuntungan dari sebuah pembentukan kartel, namun secara umum kartel digunakan
untuk mengeksploitasi pembeli dan masyarakat. Dengan mengurangi produksi maka
otomatis harga akan naik dengan cara yang tak normal. Banyak sekali waktu
dimana orang-orang harus membeli barang-barang dengan harga tinggi dimana harga
itu tidak ada hubungannya dengan biaya produksi. Ini jelas adalah sebuah
penindasan, dan tidak ada keraguan tentang ini. Lain lagi monopoli yang terjadi,
tidak ada lagi pertanyaan menyeruak mengenai kenaikan harga yang tak normal dan
eksploitasi masyarakat dalam sektor publik. Untuk itu, hukum perusahaan harus
diberlakukan untuk mengontrol seluruh monopoli dan kartel dengan pengecualian
monopoli dalan bidang sektor publik dan jika diperlukan keberadaan hukum-hukum
harus dipertegas dan diperkuat. Pada waktu yang sama, perdagangan-perdagangan
illegal seperti pemalsuan barang-barang harus dihentikan.
5.
Hukum
Pengendalian (The law of Hijr)
Jika para pengusaha
dan kalangan industri tidak mengikuti aturan dan regulasi yang telah
ditetapkan, maka pemerintah dapat mengambil tindakan atas penyitaan kekayaan
mereka sementara. Dalam terminology Islam, tindakan ini disebut Hijr. Menurut
syariah Islam Hijr berarti mengendalikan seseorang dari penyalahgunaan harta
kekayaannya. (Ibn Kudama: Al-Mughni). Hukum hijr telah diterapkan sesuai dengan
keterangan dibawah ini:
“Dan janganlah kamu serahkan
kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik”. (QS. 4:5)
Dari ayat ini,
masyarakat telah diberi hak untuk mengambil alih kepemilikan kekayaan dari
orang yang bodoh (foolish) dan orang yang belum baligh. Dan tentu pemerintah
akan melaksanakan hal ini atas nama masyarakat. Dalam kacamata hukum Islam,
tidak hanya terbelakang secara mental dan segelintir orang yang dianggap lemah
dalam memahami sesuatu, orang-orang yang menyalahgunakan kekayaan atau
menggunakannya dengan tidak etis dan tak bermoral dan tindakan-tindakan
kriminal dimana perbuatan mereka dianggap perbuatan bodoh (safih). Dalam
keadaan seperti ini, pemerintah dapat mengambil alih perusahaan, bisnis atau
property lain dari pemiliknya untuk waktu yang terbatas dibawah kendali
pemerintah. Tentu saja, periode kendali (al hijr) itu ditentukan oleh
persidangan. Sesuai dengan instruksi Al-qur’an, selama masa hijr pemerintah
dibatasi untuk memberikan perawatan yang cukup dari harta hijr tersebut. Untuk
kepentingan yang memiliki, pemerintah akan membuat rencana menjalankan industri
atau bisnis. Tentu saja, pemilik tidak akan mampu menggambarkan jumlah selama
masa hijr. Rencana ini akan memaksa pengusaha dan pemilik industri untuk
berhati-hati dan akan memperbaiki atmosfir moral dan etika dalam berbisnis.
Demi tujuan itulah pemerintah harus membingkai sebuah hukum yang modern
berkaitan dengan prinsip al-hijr, tanpa hukum atau undang-undang hijr tidak
akan dapat dilaksanakan.
6.
Hak-Hak
Pekerja
Salah satu
tanggungjawab utama pemerintahan Islam adalah menjamin hukum hak-hak para
pekerja dan mengambil langkah-langkah yang tepat berkaitan dengan ini. Untuk
alasan yang berbeda, ini bisa menjadi perhatian yang utama bagi pemerintah.
Bagian terbesar dari masyarakat adalah bertani, berindustri dan
organisasi-organisasi bisnis sebagai pekerja dan karyawan. Satu sisi, tidak ada
cara untuk mengabaikan kepentingan kekuatan kerja masyarkat. Disisi lain, jika
pemilik mempermainkan hak-hak para pekerja atau tidak membayar upah yang cukup,
maka akan ada skala kekacauan dan chaos yang luas dalam masyarakat. Dengan
demikian, tanggungjawab pemerintah mengatasi agar tidak ada situasi chaos yang
berkembang dalam masyarakat.
Sekali lagi
pemerintah harus memasukan hukum-hukum yang membawa kemaslahatan lain sesuai
dengan keadaan sekarang. Tenaga kerja harus mempunyai hak untuk membentuk
serikat kerja dan hukum itu seharusnya menjamin rumah, kesehatan, bonus dan
fasilitas lain.
Pemerintah Islam,
oleh karena itu, harus mengeluarkan seluruh usahanya untuk mengembangkan
ekonomi sebagai sebuah keseluruhan dan demi tujuan ini teknologi modern,
organisasi, perencanaan harus digunakan. Tetapi itu merupakan tujuan jangka
panjang pemerintah Islam. Sisi demi sisi, setiap negara Muslim harus mengambil
ukuran untuk mencegah pengeksploitasian dan penindasan para pekerja.
7.
Menghilangkan
Penindasan
Komunitas tenaga
kerja sekarang ini telah ditindas dan dieksploitasi dibeberapa negara berbeda
dalam cara dan tempat. Pertama semua dari kita membiarkan masalah-masalah
industri para pekerja. Mereka melepaskan pekerjaannya demi alasan-alasan yang
kecil atau demi partisipasi aktivitas perdagangan gabungan. Hukum yang yang
menintikberatkan keamanan pekerjaan harus diperkuat undang-undang tenaga kerja
dan harus diperluas. Demikian juga hukum seharusnya mempunyai ketentuan agar
pemilik perusahaan tidak mencabut komunitas tenaga kerja dari bonus ketika
perusahaan mendapatkan profit. Karena pembayaran bonus didapat melalui profit,
maka hukum juga harus menetapkan para pemilik tidak dapat menyalahgunakan atau
memanifulasi kerugian dengan manifulasi akuntansi. Dalam cara ini, tempat
eksploitasi para pekerja harus ditutup karena Allah tidak membenci segala
penindasan dan orang yang menindas. Pada beberapa negara Muslim seperti
Banglades para petani dieksploitasi dalam berbagai hal. Kesalahannya mungkin
pemerintah Islam tidak menetapkan upah minimum para petani tersebut. Dan ini
berarti pemerintah belum membuat undang-undang yang menetapkan hal itu, karena
tanpa bantuan undang-undang maka situasi ini tidak dapat diperbaiki. Upah harus
ditetapkan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Jika upah naik secara tidak normal
ditetapkan, mungkin para petani tidak akan mendapatkan pekerjaan apapun. Dan
situasi akan lebih memburuk. Untuk itulah upah yang permanen diperlukan akan
tetapi tetap mengacu kepada kondisi dan perubahan yang terjadi dari
waktu-waktu.
8.
Menghapuskan
Kemiskinan
Ini adalah salah satu
tanggungjawab utama pemerintah Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari
masyarakat karena Nabi saw bersabda; “Kemiskinan itu lebih dekat kepada
kekufuran”.
Tidak diraguan lagi
kemiskinan merupakan salah satu alasan utama dimana pesan fundamental Islam
untuk menghancurkannya. Kemiskinan adalah masalah yang serius yang tidak
mengenal waktu maupun ideologi. Oleh sebab itu, kemiskinan harus dihilangkan
dari dunia Muslim. Dengan demikian pemerintahan Islam harus mengeluarkan
seluruh usahanya untuk menyelesaikan permasalahan nomor satu ini.
Tenaga kerja yang
menganggur harus dimanfaatkan. Untuk itu, seluruh solusi pemecahan pengangguran
dikembangkan lebih lanjut. Pemerintah harus mendapatkan penuh pemanfaatan
inisiatif ekonomi baik publik maupun swasta. Peran pemerintahan Islam dalam
perkembangan ekonomi seharusnya lebih baik dari pemerintahan lainnya.
9.
Pengumpulan
Zakat
Menegakkan zakat
merupakan tanggungjawab sekaligus kewajiban bagi pemerintah Islam. Bukti yang
jelas bahwa zakat harus dikumpulkan oleh negara, adalah surat al-Baqarah ayat
60 dimana Al-qur’an telah menjelaskan porsi-porsi dari hasil zakat yang harus
dibagikan oleh amilin:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para Muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang-orang yang
berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana”. (QS. 9:60)
Undang-undang zakat
sekarang ini yang baru menerapkan adalah Pakistan, Banglades dan beberapa
negara lain. Dengan begitu, telah memiliki fasilitas hukum yang baik.
Tanggungjawab
pemerintah Islam pada waktu sekarang ini adalah mengenalkan kembali sistem
ekonomi tanpa bunga (interest) dan ini juga merupakan salah satu tujuan
fundamental Islam.
Prinsip tanggungjawab
pemerintahan Islam telah dijelaskan dalam tulisan ini. Pemerintahan Islam
mempunyai tanggungjawab lain seperti tanggungjawab ekonomi dan sosial
yangsesuai dengan hukum dan nilai Islam.
E. BENTUK
DISTRIBUSI DALAM ISLAM
Ada beberapa bentuk distribusi
kekayaan atau pendapatan yang diatur oleh islam, yaitu :
a. Sewa
atas tanah
Islam mengakui tanah sebagai factor
produksi yang dapat di manfaatkan untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi
masyarakat dengan memperhatikan prinsip dan etika ekonomi. Al-Qur’an maupun as
Sunnah banyak memberikan tekanan pada pembudidayaan tanah yang baik. Hal ini
didasarkan pada beberapa aturan yang menunjukkan perhatian perlunya mengubah
tanah kosong menjadi lahan yang bermanfaat dengan mengadakan pengaturan
pengairan dan menanaminya dengan tanaman yang baik.
Terdapat perbedaan pandangan di
kalangan ulama’ mengenai keabsahan sewa. Hal ini disebabkan karena Rasulullah
pernah melarang melakukan penyewaan tanah namun pada kesempatan lain Rasulallah
memperbolehkan memperbolehkan aktifitas itu baik secara tunai maupun bagi
hasil.
b. Upah
bagi pekerja
Harga yang dibayarkan kepada pekerja
atas jasanya dalam memproduksi kekayaan.islam memperbolehkan seseorang
mengontrak para pekerja.
Tenaga kerja adalah salah satu
factor produksi. Dalam hal ini yang di maksudkan adalah usaha yang lakukan
manusia baik dalam bentuk dfisik maupun mental dalam rangka menghasilkan produk
dalam bentuk barang maupun jasa. Hasil produk ini nilainya di ukur dengan
kemampuannya menambah manfaat atas barang atau jasa yang sudah ada.
Upah adalah sebagai imbalan dari
jerih payah seseorang atas pekerjaan yang telah dilakukan dan harus diberikan
secara adil. Seorang pekerja tidak boleh diperas tenaganya sementara upah yang
diterima tidak memadai. Demikian pula seorang pekerja tidak boleh dibebani
pekerjaan yang terlalu berat di luar kemampuannya.
c. Imbalan
atas modal
Modal dalam ekonomi islam dipandang
sebagai sesuatu yang khusus karena dalam islam ada larangan yang tegas mengenai
riba atau bunga yang dapat merugikan pekerja. Modal adalah sesuatu yang
diharapkan dapat memberikan penghasilan bagi pemiliknya tanpa harus mengambil
bunga darinya. Tabungan yang terkumpul dari masyarakat menjadi sejumlah modal.
Akumulasi tabungan yang terkumpul sebagai modal digunakan perusahaan untuk
menyediakan barang modal dalam melakukan produksi untuk memperoleh keuntungan
lain yang lebih besar.
Tabungan adalah hasil dari kumpulan
pendapatan masyarakat yang tidak digunakan untuk membeli barang-barang
konsumsi. Dalam ajaran islam, tabungan yang di akumulasikan harus di
envestasikan. Bagi pemilik tabungan akan mendapatkan imbalan dari hasil investasi
dalam bentuk bagi hasil dan bukan bunga. Sebab bunga termasuk dalam wilayah
riba.
Kata riba dimaksudkan pada setiap
perbuatan mengambil sejumlah yang berasal dari orang yang berhunungan secara
berlebihan. Kenyataan dengan adanya penambahan yang bersifat tetap adalah
dilarang karena modal yang ditanam dalam perdagangan mungkin mendatangkan
untung yang tidak tetap atau bahkan mengalami kerugian. Sehingga modal yang
ditanam dalam bank yang menghasilkan bunga tetap tanpa adanya resiko kerugian
juga dilarang.
d. Laba
bagi pengusaha
Laba merupakan bagian keuntungan
seseorang pengusaha sebagai imbalan atas usahanya mengelola perusahaan denganm
menggabungkan berbagai factor produksi untuk mencapai hasil sebanyak-banyaknya
serta membagi keuntungan perusahaan kepada pemilik factor produksi yang lebih
dalam penyelenggaran produksi. Dalam kerangka ekkonomi islam, keuntungan
mempunyai arti lebih luas sebab bunga pada modal tidak dibenarkan pada islam.
Seorang pengusaha dituntut mempunyai moral tinggi, menjaga kejujuran dalam
perhitungan, pencatatan maupun pembagian keuntungan.
F.
DISTRIBUSI PENDAPATAN DALAM KONTEKS RUMAH TANGGA
Distribusi pendapatan dalam Islam merupakan penyaluran
harta yang ada, baik dimiliki oleh pribadi atau umum (publik) kepada pihak yang
berhak menerima, dan umum meningkatkan kesejahteraan masyrakat, sesuai dengan
peraturan yang ada dalam islam (syaria’t).
Fokus
dari distribusi pendapatan dalam Islam adalah proses pendistribusiannya dan
bukan output dari distribusi tersebut. Dengan demikian jika pasar mengalami
kegagalan (fairlure) ataupun ketidakadilan (not fair) untuk berlaku sebagai
instrument distribusi pendapatan, maka frame fastabiqul khairat akan
mengarahkan semua pelaku pasar dan perangkat kebijakan pemerintahnya kepada
proses redistrubusi pandapatan. Secara sederhana bisa digambarkan, kewajiban
menyisihkan sebagian harta bagi pihak surplus (yang berkecukupan) diyakini
sebagai kompensasi atas kekayaannya dan di sisi lain merupakan insentif
(perangsang) untuk kekayaan pihak defisit agar dapat dikembangkan kepada yang
lebih baik.
Distribusi
pendapatan dalam Islam yang dijadikan batasan kebutuhan adalah maqasidul Syar’i
(agama, diri/personal, akal, keturunan dan harta). Sistematika yang
dikembangkan oleh para fuqoha dalam memenuhi maqasidul syar’i mengacu pada
skala prioritas dengan urutan sebagai berikut:
1)
Ad-Daruriyyah: suatu skala
kebutuhan yang berkaitan erat dengan kebaikan dan kepentingan umum dalam
menjalani hidup di dunia dan di akhirat.
2)
Al-Hajiyah: suatu skala kebutuhan
yang berkaitan erat dengan kemudahan dan penghindaran dari kesulitan dalam
menjalani hidup di dunia dan di akhirat.
3)
At-Tashniyyah: suatu skala kebutuhan yang berkaitan
erat dengan kelengkapan dan kecakapan melaksanakan hidup di dunia dan di
akhirat.
Islam
sendiri menawarkan konsep optimalisasi proses distribusi-redistribusi
pendapatan. Konsep ini menuntut bantuan otoritas dari pemerintah (Negara) dan
ada pula yang memang sangat bergantung pada konsep ketaatan dan karitatif
personal (rumah tangga) maupun masyarakat muslim.
·
Distribusi Pendapatan Dalam Rumah
Tangga (Household)
Mengingat
nilai-nilai Islam merupakan faktor endogen dalam rumah tangga seorang muslim,
maka haruslah dipahami bahwa seluruh proses aktifitas ekonomi di dalamnya,
harus dilandasi legalitas halal haram mulai dari: produktivitas, hak
kepemilikan, konsumsi, transaksi dan investasi. Aktivitas yang terkait dengan
aspek hukum tersebut kemudian menjadi muara bagaimana seorang muslim
melaksanakan proses distribusi pendapatannya.
Distribusi
pendapatan dapat konteks rumah tangga akan sangat terkait dengan terminology
shadaqoh. Pengertian shadaqoh di sini bukan berarti sedekah dalam konteks
pengertian bahasa Indonesia. Karena shadaqoh dalam konteks terminologi
Al-Qur’an dapat dipahami dalam beberapa aspek, yaitu;
Pertama :
Instrumen shadaqoh wajibah (wajib dan khusus dikenakan bagi orang muslim) yang
mana meliputi:
1.
Nafaqah: Kewajiban tanpa syarat
dengan menyediakan semua kebutuhan pada orang-orang terdekat.
2.
Zakat: Kewajiban seorang muslim
untuk menyisihkan sebagian harta miliknya, untuk didistribusikan kepada
kelompok tertentu (delapan asnaf).
3.
Udhiyah: Qurban binatang ternak
pada saat hari tasyrik perayaan Idhul Adha.
4.
Warisan: pembagian asset
kepemilikan kepada orang yang ditinggalkan setelah meninggal dunia.
5.
Musa’adah: Memberikan bantuan
kepada orang lain yang mengalami musibah.
6.
Jiwar: Bantuan yang diberikan
berkaitan dengan urusan bertetangga.
7.
Diyafah: Kegiatan memberikan jamuan atas tamu yang
datang.
Kedua :
Instrumen shodaqoh nafilah (sunah dan khusus dikenakan bagi orang muslim)
adalah:
1.
Infaq: Sedekah yang dapat
diberikan kepada pihak lain jika kondisi keuangan rumah tangga muslim sudah
berada di atas nisab.\
2.
Aqiqah: Memotong seekor kambing
untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki yang baru lahir.
3.
Wakaf: Memberi bantuan atas
kepemilikannya untuk kesejahteraan masyarakat umum, asset yang diwakafkan bisa
dalam bentuk asset materi kebendaan ataupun asset keuangan.
Ketiga:
Instrumen term had/ hudud (hukuman)
1.
Kafarat: Tembusan terhadap dosa
yang dilakukan oleh seorang muslim, misal melakukan hubungan suami istri pada
siang hari pada bulan Ramadhan.
2.
Dam/diyat: tebusan atas tidak
dilakukannya suatu syarat dalam pelaksanaan ibadah, seperti tidak melaksanakan
puasa tiga hari pada saat melaksanakan ibadah haji, dendanya setara dengan
seekor kambing.
3.
Nudzur: perbuatan untuk
menafkahkan atas pengorbanan sebagian harta yang dimilikinya untuk mendapatkan
keridhaan Allah SWT, atas keberhasilan pencapaian sesuatu yang menjadikan
keinginannya.
Berbeda
dengan ajaran ekonomi mana pun, ajaran Islam dalam mendistribusikan pendapatan
rumah tangga mengenal skala prioritas yang ketat. Bahkan berkaitan dengan
kewajiban zakat, ajaran Islam memberikan sejumlah persyaratan (karakteristik
khusus) pada aset wajib zakat. Dari kepemilikan aset yang dimiliki, pertama
yang harus didistribusikan (dikeluarkan) dari jumlah seluruh asset adalah
kebutuhan keluarga, dan dahulukan membayar hutang.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
DAMPAK
DISTRIBUSI PENDAPATAN DALAM ISLAM
Distribusi
pendapatan merupakan masalah perbedaan pendapat antara individu yang paling
kaya dengan individu yang paling miskin. Semakin besar jurang pendapatan
semakin besar pula variasi dalam distribusi pendapatan. Jika ketidakseimbangan
terus terjadi antara kelompok kaya dan kaum miskin, maka perekonomian tersebut
benar-benar menggabarkan pertumbuhan yang tidak merata yang berujung pada
ketimpangan.
Scott
(1979:5) melihat kemiskinan dari sisi pendapatan rata-rata per kapita ( income
per capite) dan sen (1981:22) mengkaji kemiskinan dari sudut pandang kebutuhan
dasar. Selain itu, terdapat juga pandangan lain dalam melihat kemiskinan
melalui tingkat pendapatan dan pola waktunya. Kemiskinan juga dapat diukur
dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang
diperlukan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya.
Untuk
mengatasi kemiskinan, pemerintah telah dan sedang melaksanakan 69 program
penanggulangan kemiskinan. Ada beberapa yang menjadi titik focus perhatian bagi
upaya penanggulangan kemiskinan, yakni sebagai berikut :
1.
Upaya penanggulangan kemiskinan harus bersifat local,
spesifik, maksdunya penanggulan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dan
masyarakat local sesuai dengan kondisi di daerah tersebut.
2.
Upaya penangulangan kemiskinan dalam era otonomi
daerah harus diikuti dengan perbaikan factor produksi.
3.
Upaya penanggulangan kemiskinan harus di lalukan
dengan pendekatan pembangunan ekonomi rumah tangga.
4.
Program penanggulangan kemiskinan harus merupakan
program pembangunan yang produktif.
5.
Agenda penanggulangan kemiskinan harus menjadi agenda
nasional dan dua area sasaran aksi.
6.
Penanggulangan kemiskinan merupakan gerakan masyarakat
yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
7.
Dalam suasana demokratisasi dan desentralisasi, upaya
penanggulangan kemiskinan secara berkelanjutan tidak dapat lepas dari berbagai
hal yang terkait.
8.
Strategi penanggulangan kemiskinan dalam era otonomi
harus memenuhi syarat.
9.
Operasional strategi penanggulangan kemiskinan harus
dilaksanakan dengan menerapkan koordinasi, katalisasi, mediasi, dan fasilitasi.
B.
BENTUK-BENTUK DISTRIBUSI YANG DILARANG OLEH ISLAM
Adapun bentuk-bentuk distribusi yang dilarang oleh
islam adalah monopoli dan penimbunan. Berikut penjelasan mengenai keduanya :
Dalam hal ini
para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan penimbunan yang haram adalah
yang memiliki kriteria sebagai berikut:
1.
Bahwa barang
yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya, berikut tanggungan untuk
persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh menimbun untuk persediaan
nafkah dirinya dan keluarganya dalam tenggang waktu selama satu tahun.
2.
Bahwa orang
tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar dapat menjualnya
dengan harga yang lebih tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut
kepadanya.
3.
Bahwa penimbunan
dilakukan pada saat dimana manusia sangat membutuhkan barang yang ditimbun,
seperti makanan, pakaian dan lain-lain. Jika barang-barang yang ada di tangan
para pedagang tidak dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap sebagai
penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.(Ali Abd
ar-Rasul, 1980: 1980, dan As-Sayyid Sabiq, 1981: 100)
Dari ketiga syarat itu,
jika dianalisa aspek keharamannya maka dapat disimpulkan, bahwa penimbunan yang
diharamkan adalah kelebihan dari keperluan nafkah dirinya dan keluarganya dalam
masa satu tahun. Hal ini berarti apabila menimbun barang konsumsi untuk mengisi
kebutuhan keluarga dan dirinya dalam waktu satu tahun tidaklah diharamkan sebab
hal itu adalah tindakan yang wajar untuk menghindari kesulitan ekonomi dalam
masa paceklik atau krisis ekonomi lainnya. Sedangkan syarat terjadinya
penimbunan, adalah sampainya pada suatu batas yang menyulitkan warga setempat
untuk membeli barang yang tertimbun semata karena fakta penimbunan tersebut
tidak akan terjadi selain dalam keadaan semacam ini. Kalau seandainya tidak
menyulitkan warga setempat membeli barang tersebut, maka penimbunan barang tidak
akan terjadi kesewenangan-wenangan terhadap barang tersebut sehingga bisa
dijual dengan harga yang mahal.
Atas dasar inilah, maka
syarat terjadinya penimbunan tersebut adalah bukan pembelian barang. Akan
tetapi sekedar mengumpulkan barang dengan menunggu naiknya harga sehingga bisa
menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Dikatakan menimbun selain dari hasil
pembeliannya juga karena hasil buminya yang luas sementara hanya dia yang
mempunyai jenis hasil bumi tersebut, atau karena langkanya tanaman tersebut.
Bisa juga menimbun karena induustri-industrinya sementara hanya dia yang
mempunyai industri itu, atau karena langkanya industri seperti yang
dimilikinya.
Menurut Yusuf
al-Qardawi penimbunan itu diharamkan jiak memiliki keriteria sebagai berikut:
1.
Dilakukan di
suatu tempat yang penduduknya akan menderita sebab adanya penimbunan tersebut.
2.
Penimbunan
dilakukan untuk menaikkan harga sehingga orang merasa susah dan supaya ia dapat
keuntungan yang berlipat ganda. .(Yusuf al-Qardawi, 2000: 358)
·
Monopoli dan al-Ihtikar
: Sebuah Refleksi
Penimbun adalah orang
yang mengumpulkan barang-barang sehingga barang tersebut menjadi langka
dipasaran dan kemudian menjualnya dengan harga yang sangat tinggi sehingga
warga setempat sulit untuk menjangkaunya. Hal ini bisa dipahami bahwa apabila
tersedia sedikit barang maka harga akan lebih mahal. Apalagi jika barang yang
ditimbun itu merupakan kebutuhan primer manusia seperti bahan makanan pokok
(semisal sembako).
Al-Ihtikar yang
dilakukan oleh sebagian pelaku pasar (sebagaimana disebutkan) mempunyai
kesamaan dengan praktek monopoli. Yang mana monopoli biasanya mengacu pada
penguasaan terhadap penawaran harga. Suatu monopoli sempurna terlihat bila
sebuah perusahaan tunggal memproduksi suatu komoditi yang tidak dikeluarkan oleh
perusahaan lainnya. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh
satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau
pemasaran atas barang atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan tidak
sehat dan dapat merugikan orang lain. (Nejatullah as-Siddieqy, 1991:45)
Sehingga dengan motif ingin memaksimumkan keuntungan, maka perusahaan monopoli
akan dengan mudah menetapkan harga barang sesuai dengan keinginannya. Oleh
karena pada umumnya, produksi monopoli lebih rendah daripada produksi
kompetitif, dan harga monopoli lebih tinggi daripada harga kompetitif. (Abdul
Manan, 1997:151).
Al-Ihtikar begitu juga
sebagian monopoli yang dilakukan oleh sebagian pelaku pasar sengaja
mengupayakan agar barang yang ditimbun menjadi langka di pasar. Dengan demikian
masyarakat akan kesulitan menemukan barang tersebut di pasar dan kalaupun ada
namun harga yang ditawarkan sangatlah mahal dan tidak dapat dijangkau oleh
masyarakat. Sehingga dalam keadaan seperti ini konsumen berusaha mencari barang
pengganti yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan pendapatannya, dengan
mengganti barang-barang yang kurang berguna dengan barang-barang hanya
memerlukan pengeluaran kecil. Para konsumen juga tidak mampu mengurangi
kuantitas yang dibeli dengan segera setelah harga suatu barang naik. Pada
mulanya mereka tidak akan sadar akan adanya barang-barang pengganti yang
potensial. Namun demikian, selang berapa waktu konsumen akan menyimak beberapa
barang pengganti yang muncul di pasar.
Suatu pasar dapat dikatakan
monopoli apabila: Pertama, hanya terdapat satu produsen dalam industri, kedua,
produknya tidak ada barang pengganti, ketiga, ada hambatan untuk masuknya
produsen baru, (Abdul Manan, 1997: 151) dapat menguasai penentuan harga, dan
promosi iklan tidak terlalu diperlukan. (Sadono Sakirno, 2001: 262) Dalam
kenyataan struktur pasar monopoli yang memenuhi kriteria di atas sulit
dijumpai. Banyak produsen mempunyai saingan dalam bentuk barang pengganti yang
dihasilkan oleh produsen lain. Misalnya, perusahaan kereta api di Indonesia,
kelihatannya monopoli negara. Namun jika dikaitkan dengan ciri monopoli yang
kedua, (tidak ada barang pengganti) maka perusahaan tidak murni merupakan
monopoli.
Lebih khusus Hendre
Anto menguraikan bahwa sebenarnya monopoli tidak selalu merupakan suatu keadaan
pasar yang buruk bagi perekonomian, bahkan beberapa jenis usaha memang lebih
baik jika diupayakan secara monopoli seperti dalam natural monopoly. Adanya
natural monopoly yang sebenarnya justru menguntungkan konsumen, sebab konsumen
akan mendapatkan barang dengan harga yang relatif lebih rendah jika
dibandingkan dengan dalam pasar bersaing.
Tetapi, salah satu
keburukan terbesar dari monopoli adalah penguasaannya terhadap harga (price
maker) sehingga dapat mempengaruhi atau bahkan menentukan harga pada tingkat
yang sedemikian rupa sehingga memaksimumkan laba, tanpa memperhatikan keadaan
konsumen. Produsen monopolis dapat mengambil keuntungan di atas normal (normal
profit) sehingga merugikan masyarakat. (Hendri Anto, 2002 : 310)
Islam melarang praktek
yang seperti ini karena hal tersebut dapat menimbulkan kerugian pada orang
lain. Begitu juga dengan menimbun terhadap barang-barang kebutuhan pokok sangat
dikecam dalam Islam karena biasanya apabila harga barang-barang kebutuhan pokok
naik maka akan berpengaruh frontal terhadap harga-harga barang lainnya,
sehingga harga barang menjadi tidak stabil dan dapat mengakibatkan krisis.
Di dalam teori ekonomi
kepuasan seorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan utility atau nilai
guna. Maka apabila kepuasan semakin tinggi maka semakin tinggi pula nilai
gunanya. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasannya perlu
mempertimbangkan bahwa barang yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram
termasuk di dalamnya yang diperoleh melalui al-Ihtikar dan monopoli yang
semena-mena. Karena kepuasan seorang muslim hendaknya bukan hanya berpatok atas
banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi. Tapi lebih pada apa yang dilakukannya
sebagai ibadah dengan memenuhi apa yang di perintahkan oleh Allah dan menjauhi
segala larangannya.
Apabila seseorang telah
melakukan penimbunan barang atau memonopoli komoditi dengan semena-mena, maka
orang yang bersangkutan pada hakekatnya telah menarik barang dari pasar
sehingga persediaan barang di pasar menjadi berkurang dan langka. Perbuatan
semacam ini menunjukkan adanya motivasi mementingkan diri sendiri tanpa
menghiraukan bencana dan mudharat yang akan menimpa orang banyak, asalkan
dengan cara itu dapat mengeruk untung yang sebanyak-banyaknya. Kemudharatan ini
akan bertambah berat jika si pengusaha itulah satu-satunya orang yang menjual
barang tersebut atau terjadi kesepakatan dari sebagian pengusaha yang
memproduksi maupun menjual barang tersebut untuk mengurangi atau menimbunnya,
sehingga kebutuhan masyarakat akan barang tersebut semakin meningkat sehingga
harga pun dinaikkan setinggi-tingginya. Bagaimanapun juga dalam hal bahan pokok
masyarakat (konsumen) yang sangat membutuhkan akan tetap membelinya meskipun
dengan harga yang tinggi dan tidak layak.
Dalam pandangan Islam
harga harus mencerminkan keadilan (price equvalence), baik dari sisi produsen
maupun dari sisi konsumen. Dalam situasi pasar yang bersaing sempurna harga
yang adil ini dapat dicapai dengan sendirinya, sehingga tidak perlu ada
intervensi dari pemerintah. Jika para produsen monopolis dibiarkan begitu saja
menentukan harganya sendiri, besar kemungkinan harga yang terjadi bukanlah
harga yang adil sebab ia akan mencari monopolist rent. Itulah sebabnya Islam
melarang keras al-Ihtikar (penimbunan) yang mempunyai tujuan mencari monopolist
rent. Untuk itu pemerintah perlu bahkan wajib melakukan intervensi sehingga
harga yang terjadi adalah harga yang adil. Dan Islam sangat menjunjung tinggi
keadilan.
Pada dasarnya Islam
menerima perdagangan bebas. Dalam arti bermuamalah ada kebebasan untuk
melakukan aktivitas (freedom to act). Setiap individu dapat melakukan aktivitas
ekonominya dengan bebas, kebebasan dalam perspektif ekonomi Islam tentu saja
kebebasan yang tidak melanggar kaidah-kaidah yang telah diatur dalam al-Qur’an,
as-Sunnah dan Qiyas para ulama. Karena diharapkan instrumen-instrumen yang
dijalankan dengan sitem ekonomi Islam mampu menciptakan simetrisitas antara
kesejahteraan individu dengan kesejahteraan masyarakat.
Menurut penulis pada
dasarnya Islam tidak melarang monopoli secara mutlak apalagi yang melakukan
monopoli adalah negara, namun pandangan Islam berhati-hati terhadap mekanisme
penentuan harga didalam monopoli yang cenderung berpotensi menghasilkan
kerugian bagi konsumen. Sebab harga ditentukan lebih berorientasi kepada
kepentingan produsen saja. Artinya bahwa monopoli jika di asumsikan sebagai
al-Ihtikar dengan pengertian pelangkaan barang terhadap barang produksi
kebutuhan utama masyarakat dengan menaikkan harta ketika permintaan meningkat
maka hal ini adalah di haramkan (monopolistic rent). Dengan ungkapan yang
sangat sederhana bahwa Islam pada dasarnya tidak mempermasalahkan apakah suatu
perusahaan monopolis atau oligopolis sepanjang tidak mengambil keuntungan di
atas normal. namun Islam secara jelas melarang Ihtikar (penimbunan) yaitu
mengambil keuntungan di atas normal dengan cara menjual lebih sedikit barang
untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, atau dalam istilah ekonominya
disebut dengan monopoly’s rent-seeking.
Dalam perdagangan Islam
harga harus mencerminkan keadilan, baik dari posisi produsen maupun konsumen.
Jika para produsen monopolis dibiarkan begitu saja menentukan harganya sendiri
tanpa ada kontrol masyarakat dan lembaga pemerintahan, besar kemungkinan harga
yang terjadi bukanlah harga yang adil sebab sangat terbuka peluang untuk
melakukan monopolistic rent. Itulah sebabnya Islam melarang keras al-Ihtikar
dan bahkan menyamakannya dengan monopoli, sebab ihtikar merupakan perbuatan
monopolistic rent. Sehingga dapat diasumsikan bahwa praktek monopoli kurang
mendapat simpati dalam Islam karena hal ini sangat rentan mempermainkan harga
barang sehingga dapat merugikan konsumen.
·
Hikmah di Balik Larangan Ihtikar
Imam
Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal yang
menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada
orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada
makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut
menjual atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya
manusia tidak kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan
makanan (seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia
kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam
Islam(6).
Islam
mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam
mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah
subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas
dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada
mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Menimbun
harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran.
Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam
perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan
mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa
menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya
produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas
rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ekonomi islam mengambil jalan
tengah yaitu membantu dalam menegakkan suatu sistem yang adil dan merata.
Sistem ini tidak memberikan kebebasan dan hak milik pribadi secara individual
dalam bidang produksi, tidak pula mengikat mereka dengan satu sistem pemerataan
ekonomi yang seolah-olah tidak boleh memiliki kekayaan secara bebas. Islam
mengatur distribusi harta kekayaan termasuk pendapatan kepada semua masyarakat
dan tidak menjadi komoditas diantara golongan orang kaya saja. Selain itu untuk
mencapai pemerataan pendapatan kepada masyarakat secara objektif.
B. SARAN
Penerapan sistem ekonomi islam
sangat penting bagi pengembangan perekonomian disetiap Negara terutama pada
Negara berkembang yang banyak sumber daya alam dan manusia yang bisa dikelola
dengan baik. Harapan ini mungkin bisa menjadi sebuah kenyataan yang akan
terjadi dimasa mendatang dimana ketika kita semua telah memahami bahwa sistem
ekonomi islam merupakan sistem perkonomian yang tepat untuk meniadakan
kemiskinan dengan mensejahterakan setiap umat-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat
dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988)
Ekonomiduniaislam.blogspot.com/.
Di acces 29 Maret 2014
Fatimaajja.blogspot.com/.
Di acces 05 April 2014
Mannan, Muhammad Abdul, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. DANA BAHKTI PRIMA
JASA, 1997)
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal Arifin, dan Dahlia Husin,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Rahman,
Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam jilid II
hal 92-93
Bagi anda yang membutuhkan penghasilan pasif..
BalasHapusSilahkan rekomodasikan pada teman-teman anda di website kami http://titipdana.com ..
Dapatkan 2% dari setiap invetasi teman anda, oppp jangan lupa daftar terlebih dahulu....