WELLCOME TO MY BLOG

SEMOGA BERMANFAAT

Welcome Myspace Comments
MyNiceProfile.com

Minggu, 08 Juni 2014

Makalah Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah membimbing kami  menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan dan petunjukNYA, penyusun tidak akan menyelesaikan makalah ini dengan penuh kelancaran.
Makalah ini kami susun agar pembaca dapat memahami tentang Ekonomi Dalam Islam. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah banyak membantu penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah yang sederhana ini dapat memberi wawasan dan pemahaman yang luas kepada pembaca.
Penyusun menyadari makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga kami masih mengharap kritik dan saran dari para pembaca.

Terimakasih.




Malang, 03 Mei 2014


Penyusun
 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam sebagai system hidup (way of life) dan merupakan agama yang universal sebab memuat segala aspek kehidupan baik yang terkait dengan aspek ekonomi, social, politik dan budaya. Seiring dengan maju pesatnya kajian tentang ekonomi islam dengan menggunakan pendekatan filsafat dan sebagainya mendorong kepada terbentuknya suatu ekonomi berbasis keislaman yang terfokus untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang di ilhami oleh nilai-nilai islam.
Adapun bidang kajian yang terpenting dalam perekonomian adalah bidang distribusi. Distribusi menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro baik dalam ekonomi islam maupun kapitalis sebab pembahasan dalam distribusi ini tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka. Tetapi juga aspek social dan politik sehingga menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi islam dan konvensional sampai saat ini.
Pada saat ini realita yang nampak adalah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan baik di Negara maju atau Negara – Negara berkembang yang mempergunakan system kapitalis sebagai system ekonomi negaranya, sehingga menciptakan kemiskinan di mana – mana. Menanggapi kenyataan tersebut islam sebagai agama yang universal diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan sekaligus menjadi system perekonomian suatu Negara.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana dampak distribusi dalam ekonomi islam ?
2.      Apa sajakah bentuk-bentuk distribusi yang dilarang oleh islam ?
C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui dampak distribusi dalam ekonomi islam.
2.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk distribusi yang dilarang oleh islam.


BAB II
KAJIAN TEORI

A.    PENGERTIAN DISTRIBUSI DALAM ISLAM
Secara umum Islam mengarahkan mekanisme berbasis moral dalam pemeliharaan keadilan sosial dalam bidang ekonomi, sebagai dasar pengambilan keputusan dalam bidang distribusi, sebagaimana telah diketahui bahwasanya Nabi Muhamad SAW terlahir dari keluarga pedagang dan beristrikan seorang pedangan (siti khatijah) dan beliau berdagang sampai negeri syiria, saat beliau belum menikah dengan khatijah beliau merupakan salah satu bawahan siti khatijah yang paling dikagumi oleh siti khatijah pada masa itu karena teknik pemasaran beliau. Pada saat itu Nabi Muhamad SAW telah mengajarkan dasar-dasar nilai pendistribusian yang benar yaitu dengan kejujuran dan ketekunan.
Adapun landasan-landasan dalam hal distribusi dalam islam antara lain sebagai berikut:
·         Tauhid
Yaitu konsep ketuhanan yang maha esa, yang tidak ada yang wajib di sembah kecuali Allah dan tidak ada pula yang menyekutukannya, konsep ini menjadi dasar segala sesuatu karena dari konsep inilah manusia menjalankan fungsinya sebagai hamba yang melakukan apa yang diperintahkannya dan menjauhi larangannya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT QS Al-Zumar ayat 38 yang artinya:
“dan sesungguhnya jika kamu bertanya kepada mereka: “siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”” niscaya mereka akan menjawab, “Allah”. Katakanlah :”maka terangkan padaku tentangb apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemadharatankepadaku, apakah berhala-berhala itu akan menghilangkan kemadharatan itu, atau jika Allah akan memberikan rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatnya?”, katakanlah: “cukuplah Allah bagiku.” (QS Al-Zumar: 38)

·         Adil
Menurut bahasa adalah “wadh’u syaiin ‘ala mahaliha” yaitu meletakan sesuatu pada tempatnya, konsep keadilan haruslah diterapkan dalam mekanisme pasar untuk menghindari kecurangan yang dapat mengakibatkan kedzaliman bagi satu pihak. Fiman Allah dalam surat al-Muthafifin ayat 1-3 yang artinya:“kecelakaan besarlah bagi orang-orang curang, yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi, apabila mereka menakar untuk orang lain mereka kurangi”
·         Kejujuran dalam bertransaksi
Syariat islam sangat konsen terhadap anjuran dalam berpegang teguh terhadap nilai-nilai kejujuran dalam bertransaksi. Firman Allah dalam surah al-Ahzab ayat 70 dan 71: Maksudnya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan katakanlah perkataan yang tepat – benar (dalam segala perkara). Supaya Ia memberi taufik dengan menjayakan amal-amal kamu, dan mengampunkan dosa-dosa kamu".


B.     PRINSIP DISTRIBUSI
Distribusi harta kekayaan merupakan masalah yang sangat urgen dalam mewujudkan pemerataan ekonomi masyarakat. Pentingnya distribusi harta kekayaan dalam ekonomi islam tidak berarti tidak memperhatikan keuntungan yang di peroleh dari produksi. Maka dalam distribusi, ada beberapa prinsip dasar, yaitu sebagai berikut :
1.      Prinsip keadilan atau pemerataan
·         Kekayaan tidak boleh dipusatkan pada sekelompok orang saja, tetapi harus menyebar kepada seluruh masyarakat.
·         Macam-macam factor produksi yang bersumber dari kekayaan nasional harus dibagi secara adil. Islam menginginkan persamaan kesempatan dalam meraih harta kekayaan, terlepas dari tingkatan social, kepercayaan dan warna kulit. Islam menjamin akan tersebarnya harta kekayaan di masyarakat dengan adanya distribusi yang adil.
2.      Prinsip persaudaraan atau kasih sayang
·         Menggambarkan adanya solidaritas individu dan social dalam masyarakat islam, bentuk nyata ini tercermin pada pola hubungan sesame muslim. Rasa persaudaraan sejati yang tidak akan terpecah-belah oleh kekuatan-kekuatan duniawi inilah yang mempersatukan individu kedalam masyarakat.
·         Peradaban manusia mencapai tingkat universalitas yang sesungguhnya, yaitu adanya saling bersandar, saling membutuhkan yang dihayati oleh seorang muslim maupun masyarakat islam yang akan memperkokoh solidaritas seluruh anggota masyarakat dalam aspek kehidupan yang termasuk juga aspek ekonomi.
3.      Prinsip jaminan sosial
·         Prinsip pokok dalam distribusi kekayaan. Tidak hanya sebagai prinsip semata, melainkan menggariskan dan menentukannya dalam sistem yang sempurna seperti zakat, sedekah, dll.
·         Prinsip ini memuat beberapa elemen dasar, yaitu: pertama, bahwa SDA harus dinikmati oleh semua makhluk Allah. Kedua, adanya perhatian terhadap fakir miskin terutama oleh orang yang punya uang. Ketiga, kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar pada kalangan orang kaya saja. Keempat, perintah untuk berbuat baik kepada orang lain. kelima, orang islam yang tidak punya kekayaan harus mampu dan mau menyumbangkan tenaganya untuk kegiatan social. Keenam, larangan berbuat baik karena ingin dipuji orang (riya’). Ketujuh, jaminan social itu harus diberikan kepada mereka yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai pihak yang berhak atas jaminan social itu.

a)      Larangan Riba
Pelarangan riba merupakan permasalahan penting dalam ekonomi Islam, terutama karena riba secara jelas dilarang dalam al-Qur’an. Jika dihubungkan dengan masalah distribusi, maka riba dapat mempengaruhi meningkatnya masalah dalam distribusi, yakni: berhubungan dengan distribusi pendapatan antara bankir dan masyarakat secara umum, serta nasabah secara khusus dalam kaitannya dengan bunga bank.
Lalu bagaimana jika suatu bank mengalami penurunan pendapatan? Sedangkan sebagaimana yang kita ketahui, bank syariah hanya mengandalkan prinsip bagi hasil yang tergantung pada perolehan laba nasabah. Jika terjadi kecurangan nasabah yang memalsukan perolehan labanya, dan hanya melakukan bagi hasil dengan bank sejumlah nominal yang sedikit, maka dalam jangka panjang yang terjadi adalah bank mengalami gulung tikar. Jika tidak, maka bank terpaksa mengabil bunga untuk menyelamatkan nasib bank.

b)      Larangan Menumpuk Harta
Islam membenarkan hak milik pribadi, namun tidak membenarkan penumpukan harta benda pribadi sampai batas-batas yang dapat merusak fondasi sosial Islam.Apabila terjadi yang demikian, maka pemerintah dibenarkan, dengan kekuasaannya, untuk mengambil secara paksa harta tersebut demi kepentingan masyarakat.
Jika sekarang sesuai dengan prinsip larangan menumpuk harta diatas, seharusnya dalam masyarakat akan terjadi pengambilan harta secara paksa terhadap masyarakat yang mampu untuk diserahkan sebagian hartanya kepada masyarakat yang membutuhkan. Tetapi itu tidak terealisasikan.

C.     TUJUAN DISTRIBUSI
Distribusi sama dengan produksi dan konsumsi yang mana mempunyai tujuan, diantara tujuan-tujuan itu adalah :
a)      Menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat.
Moral yang paling penting dan efektif yang Allah perintahkan adalah untuk menyebarkan kesejahteraan nasional melaui prinsip andak al-afw ( kekayaan yang melebihi kebutuhan yang tersisa setelah semua kebutuhan terpenuhi). Orang islam diperintahkan untuk memberikan hartanya sampai kebutuhan fakir miskin terpenuhi.
b)      Mengurangi ketidak-samaan pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat.
Tujuan yang kedua adalah untuk mengurangi ketidaksamaan pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat. Apabila terjadi perbedaan ekonomi yang mencolok antara yang kaya dan miskin akan mengakibatkan adanya sifat saling benci yang pada akhirnya melahirkan sikap permusuhan dan perpecahan dalam masyarakat.
c)      Untuk mensucikan jiwa dan harta.
Untuk mensucikan jiwa dan harta orang yang melekukkan derma (amal). Orang yang mampu mendistribusikan hartanya akan terhindar dari sifat kikir, dan akan menguatkan tali persaudaraan antar sesame manusia.
d)     Untuk membangun generasi yang unggul.
Distribusi juga bertujuan untuk membangun generasi penerus yang unggul, khususnya dalam bidang ekonomi, karena generasi muda merupakan penerus dalam sebuah kepemimpinan suatu bangsa.
e)      Untuk mengembangkan harta.
Pengembangan ini dapat dilihat dari dua sisi. Yang pertama, sisi spiritual, berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an (Allah hendak memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah). Kedua, sisi ekonomi, dengan adanya distribusi harta kekayaan maka akan mendorong terciptanya produktivitas, daya beli dalam masyarakat akan meningkat.

D.    DISTRIBUSI OLEH NEGARA
Peran pemerintah dalam ekonomi tergantung pada tujuan-tujuan ekonomi yang khas. Oleh karena itu, agar pembahasan ini berjalan dengan teratur, maka sebaiknya kita membahas dahulu mengenai tujuan-tujuan ekonomi Islam.
Allah telah memerintahkan untuk menegakkan keadilan dan persamaan dalam seluruh aspek kehidupan kita. Kita harus menjamin keadilan dan perilaku yang baik tidak hanya bagi individu saja tetapi juga hadir dalam aspek sosial-ekonomi.
Tujuan yang lain dari ekonomi Islam adalah memaksimumkan penggunaan sumber-sumber daya, kebebasan bekerja dan berpenghasilan dan membangun martabat manusia, dan lain sebagainya, yang semua itu untuk membantu dalam pencapaian prinsip dan tujuan utama dari ekonomi Islam –mendirikan ekonomi dan keadilan sosial. Oleh   karena itu   seluruh pertimbangan ekonomi yang lainnya seharusnya dianggap sebagai secondary prinsip dan tujuan utama pendirian keadilan dan sosial ekonomi. Dan tidak boleh mengizinkan operasi dan aktivitas ekonomi yang akan merusak riil dan kemurnian ekonomi dan keadilan sosial.
1.      Illegal Property (Kekayaan Bathil)
Bukanlah menjadi kewajiban pemerintahan Islam untuk melindungi harta atau kekayaan yang dihasilkan melalui cara yang tidak sah, akan tetapi pemerintahan Islam akan mengambil alih kekayaan itu semata-mata karena harta itu dilarang oleh Islam. Seluruh harta illegal dalam Islam haram dan dilarang dan mengeliminasi yang haram dan yang mungkar adalah tanggungjawab yang prinsipil bagi pemerintahan Islam. Oleh karena itu, salah satu tugas penting pemerintahan Islam harus menggganti kekayaan yang dibuat dengan illegal dan mengembalikannya ke pemiliknya atau menyimpannya pada Baitulmaal. Untuk tujuan inilah memeriksa seluruh ketidakteraturan yang ada diperlukan didirikannya lembaga Hisbah. (Almawardi; Ahkamul Sultania).
Kebebasan Islam akan pekerjaan dan mata pencaharian tidak berarti bahwa seseorang dapat menggunakannya dalam perdagangan binis yang merusak masyarakat. Hal ini tidak diizinkan dalam keadaaan apapun karena tidak sesuai dengan syari’ah Islam
Oleh karena itu, pemerintah Islam harus memeriksa penimbunan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dan untuk tujuan ini maka perlu adanya undang-undang yang berlaku. Tentu saja, sebuah hukum tidak dapat menciptakan rintangan dan penghalang dari melakukan bisnis yang normal. Contoh, ketika panen padi datang, maka para petani menaruh padinya dalam jumlah besar dan waktu yang cukup lama, dan ini dibolehkan. Akan tetapi ketika supply itu berkurang periode penyimpanan dan jumlah kuantitasnya boleh dikurangi oleh pemerintah.
2.      Keuntungan yang Berlebihan (Profiteering)
Para Fuqaha berpendapat tentang nilai-nilai Islam pada keuntungan yang sah harus memenuhi beberapa keadaan dasar:
Profit yang sah harus didapatkan tanpa mempengaruhi operasi mekanisme pasar seperti kekuatan demand dan supply yang berjalan secara bebas. Profit yang sah adalah kondisi dimana perpindahan barang-barang yang keluar maupun yang masuk pasar tidak dipengaruhi secara tak wajar. Profit adalah apa yang pengusaha dapatkan setelah memberikan hak gaji/upah pada tenaga kerja yang bekerja diperusahaan, di ladang pertanian dan tempat kerja lainnya.
Profit menjadi sah yang seharusnya mengambil pertimbangan daya beli (purchasing power) pembeli. Inilah apa yang didapatkan pengusaha setelah menjual barang-barangnya dengan harga yang wajar.
Ketika profit memenuhi kriteria diatas, mungkin diistilahkan menjadi profit yang adil oleh karena itu pemerintah harus mengambil tindakan keras pada pengusaha-pengusaha dan pemilik industri yang ingin mempengaruhi market demand and supply dalam sebuah cara yang tidak normal, tidak menunaikan hak-hak pekerja dan ingin membuat keuntungan yang berlebihan (excessive profit) dengan mengeksploitasi pembeli. Tindakan ini bisa saja dengan cara dan jalan yang berbeda.
Untuk itu, pemerintah juga harus memformulasikan hukum-hukum untuk melindungi hak-hak yang adil pada pekerja dan harus memaksa pemilik bisnis untuk mentaati hukum tersebut. Untuk menjadikan harga turun, pemerintah seharusnya mengambil tindakan aturan-aturan dan regulasi ekonomi normal. Jika tidak mungkin meningkatkan produksi lokal, maka langkah yang seharusnya diambil untuk menigkatkan supply dengan megimpor lebih dari luar negeri.
3.      Kontrol Harga
Jika langkah-langkah tadi tidak bekerja, pemerintah akan harus mengambil langkah selanjutnya, mengontrol harga. Tugas pemerintah yang fundamental ini untuk mengakhiri dan menghilangkan penderitaan dan penindasan masyarakat. Tugas ini dilaksanakan dalam keadaan normal seperti sistem ekonomi yang    bebas tanpa ada batasan selama tidak menindas pihak lain. Tetapi jika para pedagang menaikan harga komoditas secara illegal dan jika tindakannya itu membuat penderitaan yang tak dapat ditahan oleh masyarakat maka harga barang-barang itu harus ditetapkan harganya. Pandangan ini telah didukung oleh sejumlah fuqaha:
“Negara mempunyai kekuasaan yang dibutuhkan secara sah untuk menetapkan harga barang-barang dalam keadaaan tertentu dan dasar otoritas legal negara ini adalah prinsip yang fundamental yaitu penting untuk menghapuskan penderitaan orang.”(Ibn Nadim Hanafi: Al-Isba wa An-Nadzir)
Shah Waliyullah dalam masalah ini berkomentar, “saya ingin mengatakan bahwa menegakkan seperti keadilan yang tidak seorangpun yang lebih dekat atau sama dekat dengan keadilan seratus persen dan hal itu sulit. Untuk itulah Nabi Muhammad saw sangat berhati-hati agar para pembuat kebijakan tidak kembali pada prinsip penetapan harga dengan aturan yang umum. Tetapi, jika ada penindasan terbuka atau jelas yang dilakukan komunitas pengusaha, maka dalam hal ini boleh untuk menetapkan harga. (Shah Waliyullah: Hujjatullahil Baliga)
4.      Monopoli dan Kartel
Sekarang ini, banyak industri-industri yang membentuk kartel dan industri yang menjadi monopoli, dengan cara demikian eksploitasi masyarakat pun terjadi. Ketika produsen mempunyai kontrol penuh terhadap produknya, maka ini disebut monopoli. Situasi monopoli mungkin juga muncul jika hanya ada beberapa orang mempunyai kontrol atas produknya. Ketika produsen mengorganisasikan dalam sebuah asosiasi untuk mengontrol produksi, harga, dan pasar, maka keadaan ini disebut kartel.
Memang ada beberapa keuntungan dari sebuah pembentukan kartel, namun secara umum kartel digunakan untuk mengeksploitasi pembeli dan masyarakat. Dengan mengurangi produksi maka otomatis harga akan naik dengan cara yang tak normal. Banyak sekali waktu dimana orang-orang harus membeli barang-barang dengan harga tinggi dimana harga itu tidak ada hubungannya dengan biaya produksi. Ini jelas adalah sebuah penindasan, dan tidak ada keraguan tentang ini. Lain lagi monopoli yang terjadi, tidak ada lagi pertanyaan menyeruak mengenai kenaikan harga yang tak normal dan eksploitasi masyarakat dalam sektor publik. Untuk itu, hukum perusahaan harus diberlakukan untuk mengontrol seluruh monopoli dan kartel dengan pengecualian monopoli dalan bidang sektor publik dan jika diperlukan keberadaan hukum-hukum harus dipertegas dan diperkuat. Pada waktu yang sama, perdagangan-perdagangan illegal seperti pemalsuan barang-barang harus dihentikan.
5.      Hukum Pengendalian (The law of Hijr)
Jika para pengusaha dan kalangan industri tidak mengikuti aturan dan regulasi yang telah ditetapkan, maka pemerintah dapat mengambil tindakan atas penyitaan kekayaan mereka sementara. Dalam terminology Islam, tindakan ini disebut Hijr. Menurut syariah Islam Hijr berarti mengendalikan seseorang dari penyalahgunaan harta kekayaannya. (Ibn Kudama: Al-Mughni). Hukum hijr telah diterapkan sesuai dengan keterangan dibawah ini:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. (QS. 4:5)
Dari ayat ini, masyarakat telah diberi hak untuk mengambil alih kepemilikan kekayaan dari orang yang bodoh (foolish) dan orang yang belum baligh. Dan tentu pemerintah akan melaksanakan hal ini atas nama masyarakat. Dalam kacamata hukum Islam, tidak hanya terbelakang secara mental dan segelintir orang yang dianggap lemah dalam memahami sesuatu, orang-orang yang menyalahgunakan kekayaan atau menggunakannya dengan tidak etis dan tak bermoral dan tindakan-tindakan kriminal dimana perbuatan mereka dianggap perbuatan bodoh (safih).  Dalam keadaan seperti ini, pemerintah dapat mengambil alih perusahaan, bisnis atau property lain dari pemiliknya untuk waktu yang terbatas dibawah kendali pemerintah. Tentu saja, periode kendali (al hijr) itu ditentukan oleh persidangan. Sesuai dengan instruksi Al-qur’an, selama masa hijr pemerintah dibatasi untuk memberikan perawatan yang cukup dari harta hijr tersebut. Untuk kepentingan yang memiliki, pemerintah akan membuat rencana menjalankan industri atau bisnis. Tentu saja, pemilik tidak akan mampu menggambarkan jumlah selama masa hijr. Rencana ini akan memaksa pengusaha dan pemilik industri untuk berhati-hati dan akan memperbaiki atmosfir moral dan etika dalam berbisnis. Demi tujuan itulah pemerintah harus membingkai sebuah hukum yang modern berkaitan dengan prinsip al-hijr, tanpa hukum atau undang-undang hijr tidak akan dapat dilaksanakan.

6.      Hak-Hak Pekerja
Salah satu tanggungjawab utama pemerintahan Islam adalah menjamin hukum hak-hak para pekerja dan mengambil langkah-langkah yang tepat berkaitan dengan ini. Untuk alasan yang berbeda, ini bisa menjadi perhatian yang utama bagi pemerintah. Bagian terbesar dari masyarakat adalah bertani, berindustri dan organisasi-organisasi bisnis sebagai pekerja dan karyawan. Satu sisi, tidak ada cara untuk mengabaikan kepentingan kekuatan kerja masyarkat. Disisi lain, jika pemilik mempermainkan hak-hak para pekerja atau tidak membayar upah yang cukup, maka akan ada skala kekacauan dan chaos yang luas dalam masyarakat. Dengan demikian, tanggungjawab pemerintah mengatasi agar tidak ada situasi chaos yang berkembang dalam masyarakat.
Sekali lagi pemerintah harus memasukan hukum-hukum yang membawa kemaslahatan lain sesuai dengan keadaan sekarang. Tenaga kerja harus mempunyai hak untuk membentuk serikat kerja dan hukum itu seharusnya menjamin rumah, kesehatan, bonus dan fasilitas lain.
Pemerintah Islam, oleh karena itu, harus mengeluarkan seluruh usahanya untuk mengembangkan ekonomi sebagai sebuah keseluruhan dan demi tujuan ini teknologi modern, organisasi, perencanaan harus digunakan. Tetapi itu merupakan tujuan jangka panjang pemerintah Islam. Sisi demi sisi, setiap negara Muslim harus mengambil ukuran untuk mencegah pengeksploitasian dan penindasan para pekerja.
7.      Menghilangkan Penindasan
Komunitas tenaga kerja sekarang ini telah ditindas dan dieksploitasi dibeberapa negara berbeda dalam cara dan tempat. Pertama semua dari kita membiarkan masalah-masalah industri para pekerja. Mereka melepaskan pekerjaannya demi alasan-alasan yang kecil atau demi partisipasi aktivitas perdagangan gabungan. Hukum yang yang menintikberatkan keamanan pekerjaan harus diperkuat undang-undang tenaga kerja dan harus diperluas. Demikian juga hukum seharusnya mempunyai ketentuan agar pemilik perusahaan tidak mencabut komunitas tenaga kerja dari bonus ketika perusahaan mendapatkan profit. Karena pembayaran bonus didapat melalui profit, maka hukum juga harus menetapkan para pemilik tidak dapat menyalahgunakan atau memanifulasi kerugian dengan manifulasi akuntansi. Dalam cara ini, tempat eksploitasi para pekerja harus ditutup karena Allah tidak membenci segala penindasan dan orang yang menindas. Pada beberapa negara Muslim seperti Banglades para petani dieksploitasi dalam berbagai hal. Kesalahannya mungkin pemerintah Islam tidak menetapkan upah minimum para petani tersebut. Dan ini berarti pemerintah belum membuat undang-undang yang menetapkan hal itu, karena tanpa bantuan undang-undang maka situasi ini tidak dapat diperbaiki. Upah harus ditetapkan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Jika upah naik secara tidak normal ditetapkan, mungkin para petani tidak akan mendapatkan pekerjaan apapun. Dan situasi akan lebih memburuk. Untuk itulah upah yang permanen diperlukan akan tetapi tetap mengacu kepada kondisi dan perubahan yang terjadi dari waktu-waktu.
8.      Menghapuskan Kemiskinan
Ini adalah salah satu tanggungjawab utama pemerintah Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat karena Nabi saw bersabda; “Kemiskinan itu lebih dekat kepada kekufuran”.
Tidak diraguan lagi kemiskinan merupakan salah satu alasan utama dimana pesan fundamental Islam untuk menghancurkannya. Kemiskinan adalah masalah yang serius yang tidak mengenal waktu maupun ideologi. Oleh sebab itu, kemiskinan harus dihilangkan dari dunia Muslim. Dengan demikian pemerintahan Islam harus mengeluarkan seluruh usahanya untuk menyelesaikan permasalahan nomor satu ini.
Tenaga kerja yang menganggur harus dimanfaatkan. Untuk itu, seluruh solusi pemecahan pengangguran dikembangkan lebih lanjut. Pemerintah harus mendapatkan penuh pemanfaatan inisiatif ekonomi baik publik maupun swasta. Peran pemerintahan Islam dalam perkembangan ekonomi seharusnya lebih baik dari pemerintahan lainnya.
9.      Pengumpulan Zakat
Menegakkan zakat merupakan tanggungjawab sekaligus kewajiban bagi pemerintah Islam. Bukti yang jelas bahwa zakat harus dikumpulkan oleh negara, adalah surat al-Baqarah ayat 60 dimana Al-qur’an telah menjelaskan porsi-porsi dari hasil zakat yang harus dibagikan oleh amilin:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. 9:60)
Undang-undang zakat sekarang ini yang baru menerapkan adalah Pakistan, Banglades dan beberapa negara lain. Dengan begitu, telah memiliki fasilitas hukum yang baik.
Tanggungjawab pemerintah Islam pada waktu sekarang ini adalah mengenalkan kembali sistem ekonomi tanpa bunga (interest) dan ini juga merupakan salah satu tujuan fundamental Islam.
Prinsip tanggungjawab pemerintahan Islam telah dijelaskan dalam tulisan ini. Pemerintahan Islam mempunyai tanggungjawab lain seperti tanggungjawab ekonomi dan sosial yangsesuai dengan hukum dan nilai Islam.
E.     BENTUK DISTRIBUSI DALAM ISLAM
Ada beberapa bentuk distribusi kekayaan atau pendapatan yang diatur oleh islam, yaitu :
a.       Sewa atas tanah
Islam mengakui tanah sebagai factor produksi yang dapat di manfaatkan untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan memperhatikan prinsip dan etika ekonomi. Al-Qur’an maupun as Sunnah banyak memberikan tekanan pada pembudidayaan tanah yang baik. Hal ini didasarkan pada beberapa aturan yang menunjukkan perhatian perlunya mengubah tanah kosong menjadi lahan yang bermanfaat dengan mengadakan pengaturan pengairan dan menanaminya dengan tanaman yang baik.
Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama’ mengenai keabsahan sewa. Hal ini disebabkan karena Rasulullah pernah melarang melakukan penyewaan tanah namun pada kesempatan lain Rasulallah memperbolehkan memperbolehkan aktifitas itu baik secara tunai maupun bagi hasil.
b.      Upah bagi pekerja
Harga yang dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam memproduksi kekayaan.islam memperbolehkan seseorang mengontrak para pekerja.
Tenaga kerja adalah salah satu factor produksi. Dalam hal ini yang di maksudkan adalah usaha yang lakukan manusia baik dalam bentuk dfisik maupun mental dalam rangka menghasilkan produk dalam bentuk barang maupun jasa. Hasil produk ini nilainya di ukur dengan kemampuannya menambah manfaat atas barang atau jasa yang sudah ada.
Upah adalah sebagai imbalan dari jerih payah seseorang atas pekerjaan yang telah dilakukan dan harus diberikan secara adil. Seorang pekerja tidak boleh diperas tenaganya sementara upah yang diterima tidak memadai. Demikian pula seorang pekerja tidak boleh dibebani pekerjaan yang terlalu berat di luar kemampuannya.

c.       Imbalan atas modal
Modal dalam ekonomi islam dipandang sebagai sesuatu yang khusus karena dalam islam ada larangan yang tegas mengenai riba atau bunga yang dapat merugikan pekerja. Modal adalah sesuatu yang diharapkan dapat memberikan penghasilan bagi pemiliknya tanpa harus mengambil bunga darinya. Tabungan yang terkumpul dari masyarakat menjadi sejumlah modal. Akumulasi tabungan yang terkumpul sebagai modal digunakan perusahaan untuk menyediakan barang modal dalam melakukan produksi untuk memperoleh keuntungan lain yang lebih besar.
Tabungan adalah hasil dari kumpulan pendapatan masyarakat yang tidak digunakan untuk membeli barang-barang konsumsi. Dalam ajaran islam, tabungan yang di akumulasikan harus di envestasikan. Bagi pemilik tabungan akan mendapatkan imbalan dari hasil investasi dalam bentuk bagi hasil dan bukan bunga. Sebab bunga termasuk dalam wilayah riba.
Kata riba dimaksudkan pada setiap perbuatan mengambil sejumlah yang berasal dari orang yang berhunungan secara berlebihan. Kenyataan dengan adanya penambahan yang bersifat tetap adalah dilarang karena modal yang ditanam dalam perdagangan mungkin mendatangkan untung yang tidak tetap atau bahkan mengalami kerugian. Sehingga modal yang ditanam dalam bank yang menghasilkan bunga tetap tanpa adanya resiko kerugian juga dilarang.
d.      Laba bagi pengusaha
Laba merupakan bagian keuntungan seseorang pengusaha sebagai imbalan atas usahanya mengelola perusahaan denganm menggabungkan berbagai factor produksi untuk mencapai hasil sebanyak-banyaknya serta membagi keuntungan perusahaan kepada pemilik factor produksi yang lebih dalam penyelenggaran produksi. Dalam kerangka ekkonomi islam, keuntungan mempunyai arti lebih luas sebab bunga pada modal tidak dibenarkan pada islam. Seorang pengusaha dituntut mempunyai moral tinggi, menjaga kejujuran dalam perhitungan, pencatatan maupun pembagian keuntungan.

F.      DISTRIBUSI PENDAPATAN DALAM KONTEKS RUMAH TANGGA
Distribusi pendapatan dalam Islam merupakan penyaluran harta yang ada, baik dimiliki oleh pribadi atau umum (publik) kepada pihak yang berhak menerima, dan umum meningkatkan kesejahteraan masyrakat, sesuai dengan peraturan yang ada dalam islam (syaria’t). 
Fokus dari distribusi pendapatan dalam Islam adalah proses pendistribusiannya dan bukan output dari distribusi tersebut. Dengan demikian jika pasar mengalami kegagalan (fairlure) ataupun ketidakadilan (not fair) untuk berlaku sebagai instrument distribusi pendapatan, maka frame fastabiqul khairat akan mengarahkan semua pelaku pasar dan perangkat kebijakan pemerintahnya kepada proses redistrubusi pandapatan. Secara sederhana bisa digambarkan, kewajiban menyisihkan sebagian harta bagi pihak surplus (yang berkecukupan) diyakini sebagai kompensasi atas kekayaannya dan di sisi lain merupakan insentif (perangsang) untuk kekayaan pihak defisit agar dapat dikembangkan kepada yang lebih baik.
Distribusi pendapatan dalam Islam yang dijadikan batasan kebutuhan adalah maqasidul Syar’i (agama, diri/personal, akal, keturunan dan harta). Sistematika yang dikembangkan oleh para fuqoha dalam memenuhi maqasidul syar’i mengacu pada skala prioritas dengan urutan sebagai berikut:
1)        Ad-Daruriyyah: suatu skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kebaikan dan kepentingan umum dalam menjalani hidup di dunia dan di akhirat.
2)        Al-Hajiyah: suatu skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kemudahan dan penghindaran dari kesulitan dalam menjalani hidup di dunia dan di akhirat.
3)        At-Tashniyyah: suatu skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kelengkapan dan kecakapan melaksanakan hidup di dunia dan di akhirat.
Islam sendiri menawarkan konsep optimalisasi proses distribusi-redistribusi pendapatan. Konsep ini menuntut bantuan otoritas dari pemerintah (Negara) dan ada pula yang memang sangat bergantung pada konsep ketaatan dan karitatif personal (rumah tangga) maupun masyarakat muslim.
·         Distribusi Pendapatan Dalam Rumah Tangga (Household)
Mengingat nilai-nilai Islam merupakan faktor endogen dalam rumah tangga seorang muslim, maka haruslah dipahami bahwa seluruh proses aktifitas ekonomi di dalamnya, harus dilandasi legalitas halal haram mulai dari: produktivitas, hak kepemilikan, konsumsi, transaksi dan investasi. Aktivitas yang terkait dengan aspek hukum tersebut kemudian menjadi muara bagaimana seorang muslim melaksanakan proses distribusi pendapatannya.
Distribusi pendapatan dapat konteks rumah tangga akan sangat terkait dengan terminology shadaqoh. Pengertian shadaqoh di sini bukan berarti sedekah dalam konteks pengertian bahasa Indonesia. Karena shadaqoh dalam konteks terminologi Al-Qur’an dapat dipahami dalam beberapa aspek, yaitu;
Pertama : Instrumen shadaqoh wajibah (wajib dan khusus dikenakan bagi orang muslim) yang mana meliputi:
1.             Nafaqah: Kewajiban tanpa syarat dengan menyediakan semua kebutuhan pada orang-orang terdekat.
2.             Zakat: Kewajiban seorang muslim untuk menyisihkan sebagian harta miliknya, untuk didistribusikan kepada kelompok tertentu (delapan asnaf).
3.             Udhiyah: Qurban binatang ternak pada saat hari tasyrik perayaan Idhul Adha.
4.             Warisan: pembagian asset kepemilikan kepada orang yang ditinggalkan setelah meninggal dunia.
5.             Musa’adah: Memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami musibah.
6.             Jiwar: Bantuan yang diberikan berkaitan dengan urusan bertetangga.
7.             Diyafah: Kegiatan memberikan jamuan atas tamu yang datang.

Kedua : Instrumen shodaqoh nafilah (sunah dan khusus dikenakan bagi orang muslim) adalah:
1.             Infaq: Sedekah yang dapat diberikan kepada pihak lain jika kondisi keuangan rumah tangga muslim sudah berada di atas nisab.\
2.             Aqiqah: Memotong seekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki yang baru lahir.
3.             Wakaf: Memberi bantuan atas kepemilikannya untuk kesejahteraan masyarakat umum, asset yang diwakafkan bisa dalam bentuk asset materi kebendaan ataupun asset keuangan.
Ketiga: Instrumen term had/ hudud (hukuman)
1.             Kafarat: Tembusan terhadap dosa yang dilakukan oleh seorang muslim, misal melakukan hubungan suami istri pada siang hari pada bulan Ramadhan.
2.             Dam/diyat: tebusan atas tidak dilakukannya suatu syarat dalam pelaksanaan ibadah, seperti tidak melaksanakan puasa tiga hari pada saat melaksanakan ibadah haji, dendanya setara dengan seekor kambing.
3.             Nudzur: perbuatan untuk menafkahkan atas pengorbanan sebagian harta yang dimilikinya untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT, atas keberhasilan pencapaian sesuatu yang menjadikan keinginannya.
Berbeda dengan ajaran ekonomi mana pun, ajaran Islam dalam mendistribusikan pendapatan rumah tangga mengenal skala prioritas yang ketat. Bahkan berkaitan dengan kewajiban zakat, ajaran Islam memberikan sejumlah persyaratan (karakteristik khusus) pada aset wajib zakat. Dari kepemilikan aset yang dimiliki, pertama yang harus didistribusikan (dikeluarkan) dari jumlah seluruh asset adalah kebutuhan keluarga, dan dahulukan membayar hutang. 


BAB III
PEMBAHASAN

A.    DAMPAK DISTRIBUSI PENDAPATAN DALAM ISLAM
Distribusi pendapatan merupakan masalah perbedaan pendapat antara individu yang paling kaya dengan individu yang paling miskin. Semakin besar jurang pendapatan semakin besar pula variasi dalam distribusi pendapatan. Jika ketidakseimbangan terus terjadi antara kelompok kaya dan kaum miskin, maka perekonomian tersebut benar-benar menggabarkan pertumbuhan yang tidak merata yang berujung pada ketimpangan.
Scott (1979:5) melihat kemiskinan dari sisi pendapatan rata-rata per kapita ( income per capite) dan sen (1981:22) mengkaji kemiskinan dari sudut pandang kebutuhan dasar. Selain itu, terdapat juga pandangan lain dalam melihat kemiskinan melalui tingkat pendapatan dan pola waktunya. Kemiskinan juga dapat diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya.
Untuk mengatasi kemiskinan, pemerintah telah dan sedang melaksanakan 69 program penanggulangan kemiskinan. Ada beberapa yang menjadi titik focus perhatian bagi upaya penanggulangan kemiskinan, yakni sebagai berikut :
1.      Upaya penanggulangan kemiskinan harus bersifat local, spesifik, maksdunya penanggulan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat local sesuai dengan kondisi di daerah tersebut.
2.      Upaya penangulangan kemiskinan dalam era otonomi daerah harus diikuti dengan perbaikan factor produksi.
3.      Upaya penanggulangan kemiskinan harus di lalukan dengan pendekatan pembangunan ekonomi rumah tangga.
4.      Program penanggulangan kemiskinan harus merupakan program pembangunan yang produktif.
5.      Agenda penanggulangan kemiskinan harus menjadi agenda nasional dan dua area sasaran aksi.
6.      Penanggulangan kemiskinan merupakan gerakan masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
7.      Dalam suasana demokratisasi dan desentralisasi, upaya penanggulangan kemiskinan secara berkelanjutan tidak dapat lepas dari berbagai hal yang terkait.
8.      Strategi penanggulangan kemiskinan dalam era otonomi harus memenuhi syarat.
9.      Operasional strategi penanggulangan kemiskinan harus dilaksanakan dengan menerapkan koordinasi, katalisasi, mediasi, dan fasilitasi.

B.     BENTUK-BENTUK DISTRIBUSI YANG DILARANG OLEH ISLAM
Adapun bentuk-bentuk distribusi yang dilarang oleh islam adalah monopoli dan penimbunan. Berikut penjelasan mengenai keduanya :
Dalam hal ini para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan penimbunan yang haram adalah yang memiliki kriteria sebagai berikut:
1.      Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya, berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh menimbun untuk persediaan nafkah dirinya dan keluarganya dalam tenggang waktu selama satu tahun.
2.      Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut kepadanya.
3.      Bahwa penimbunan dilakukan pada saat dimana manusia sangat membutuhkan barang yang ditimbun, seperti makanan, pakaian dan lain-lain. Jika barang-barang yang ada di tangan para pedagang tidak dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.(Ali Abd ar-Rasul, 1980: 1980, dan As-Sayyid Sabiq, 1981: 100)
Dari ketiga syarat itu, jika dianalisa aspek keharamannya maka dapat disimpulkan, bahwa penimbunan yang diharamkan adalah kelebihan dari keperluan nafkah dirinya dan keluarganya dalam masa satu tahun. Hal ini berarti apabila menimbun barang konsumsi untuk mengisi kebutuhan keluarga dan dirinya dalam waktu satu tahun tidaklah diharamkan sebab hal itu adalah tindakan yang wajar untuk menghindari kesulitan ekonomi dalam masa paceklik atau krisis ekonomi lainnya. Sedangkan syarat terjadinya penimbunan, adalah sampainya pada suatu batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang tertimbun semata karena fakta penimbunan tersebut tidak akan terjadi selain dalam keadaan semacam ini. Kalau seandainya tidak menyulitkan warga setempat membeli barang tersebut, maka penimbunan barang tidak akan terjadi kesewenangan-wenangan terhadap barang tersebut sehingga bisa dijual dengan harga yang mahal.
Atas dasar inilah, maka syarat terjadinya penimbunan tersebut adalah bukan pembelian barang. Akan tetapi sekedar mengumpulkan barang dengan menunggu naiknya harga sehingga bisa menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Dikatakan menimbun selain dari hasil pembeliannya juga karena hasil buminya yang luas sementara hanya dia yang mempunyai jenis hasil bumi tersebut, atau karena langkanya tanaman tersebut. Bisa juga menimbun karena induustri-industrinya sementara hanya dia yang mempunyai industri itu, atau karena langkanya industri seperti yang dimilikinya.
Menurut Yusuf al-Qardawi penimbunan itu diharamkan jiak memiliki keriteria sebagai berikut:
1.      Dilakukan di suatu tempat yang penduduknya akan menderita sebab adanya penimbunan tersebut.
2.      Penimbunan dilakukan untuk menaikkan harga sehingga orang merasa susah dan supaya ia dapat keuntungan yang berlipat ganda. .(Yusuf al-Qardawi, 2000: 358)

·         Monopoli dan al-Ihtikar : Sebuah Refleksi
Penimbun adalah orang yang mengumpulkan barang-barang sehingga barang tersebut menjadi langka dipasaran dan kemudian menjualnya dengan harga yang sangat tinggi sehingga warga setempat sulit untuk menjangkaunya. Hal ini bisa dipahami bahwa apabila tersedia sedikit barang maka harga akan lebih mahal. Apalagi jika barang yang ditimbun itu merupakan kebutuhan primer manusia seperti bahan makanan pokok (semisal sembako).
Al-Ihtikar yang dilakukan oleh sebagian pelaku pasar (sebagaimana disebutkan) mempunyai kesamaan dengan praktek monopoli. Yang mana monopoli biasanya mengacu pada penguasaan terhadap penawaran harga. Suatu monopoli sempurna terlihat bila sebuah perusahaan tunggal memproduksi suatu komoditi yang tidak dikeluarkan oleh perusahaan lainnya. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat merugikan orang lain. (Nejatullah as-Siddieqy, 1991:45) Sehingga dengan motif ingin memaksimumkan keuntungan, maka perusahaan monopoli akan dengan mudah menetapkan harga barang sesuai dengan keinginannya. Oleh karena pada umumnya, produksi monopoli lebih rendah daripada produksi kompetitif, dan harga monopoli lebih tinggi daripada harga kompetitif. (Abdul Manan, 1997:151).
Al-Ihtikar begitu juga sebagian monopoli yang dilakukan oleh sebagian pelaku pasar sengaja mengupayakan agar barang yang ditimbun menjadi langka di pasar. Dengan demikian masyarakat akan kesulitan menemukan barang tersebut di pasar dan kalaupun ada namun harga yang ditawarkan sangatlah mahal dan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. Sehingga dalam keadaan seperti ini konsumen berusaha mencari barang pengganti yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan pendapatannya, dengan mengganti barang-barang yang kurang berguna dengan barang-barang hanya memerlukan pengeluaran kecil. Para konsumen juga tidak mampu mengurangi kuantitas yang dibeli dengan segera setelah harga suatu barang naik. Pada mulanya mereka tidak akan sadar akan adanya barang-barang pengganti yang potensial. Namun demikian, selang berapa waktu konsumen akan menyimak beberapa barang pengganti yang muncul di pasar.
Suatu pasar dapat dikatakan monopoli apabila: Pertama, hanya terdapat satu produsen dalam industri, kedua, produknya tidak ada barang pengganti, ketiga, ada hambatan untuk masuknya produsen baru, (Abdul Manan, 1997: 151) dapat menguasai penentuan harga, dan promosi iklan tidak terlalu diperlukan. (Sadono Sakirno, 2001: 262) Dalam kenyataan struktur pasar monopoli yang memenuhi kriteria di atas sulit dijumpai. Banyak produsen mempunyai saingan dalam bentuk barang pengganti yang dihasilkan oleh produsen lain. Misalnya, perusahaan kereta api di Indonesia, kelihatannya monopoli negara. Namun jika dikaitkan dengan ciri monopoli yang kedua, (tidak ada barang pengganti) maka perusahaan tidak murni merupakan monopoli.
Lebih khusus Hendre Anto menguraikan bahwa sebenarnya monopoli tidak selalu merupakan suatu keadaan pasar yang buruk bagi perekonomian, bahkan beberapa jenis usaha memang lebih baik jika diupayakan secara monopoli seperti dalam natural monopoly. Adanya natural monopoly yang sebenarnya justru menguntungkan konsumen, sebab konsumen akan mendapatkan barang dengan harga yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan dalam pasar bersaing.
Tetapi, salah satu keburukan terbesar dari monopoli adalah penguasaannya terhadap harga (price maker) sehingga dapat mempengaruhi atau bahkan menentukan harga pada tingkat yang sedemikian rupa sehingga memaksimumkan laba, tanpa memperhatikan keadaan konsumen. Produsen monopolis dapat mengambil keuntungan di atas normal (normal profit) sehingga merugikan masyarakat. (Hendri Anto, 2002 : 310)
Islam melarang praktek yang seperti ini karena hal tersebut dapat menimbulkan kerugian pada orang lain. Begitu juga dengan menimbun terhadap barang-barang kebutuhan pokok sangat dikecam dalam Islam karena biasanya apabila harga barang-barang kebutuhan pokok naik maka akan berpengaruh frontal terhadap harga-harga barang lainnya, sehingga harga barang menjadi tidak stabil dan dapat mengakibatkan krisis.
Di dalam teori ekonomi kepuasan seorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan utility atau nilai guna. Maka apabila kepuasan semakin tinggi maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasannya perlu mempertimbangkan bahwa barang yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram termasuk di dalamnya yang diperoleh melalui al-Ihtikar dan monopoli yang semena-mena. Karena kepuasan seorang muslim hendaknya bukan hanya berpatok atas banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi. Tapi lebih pada apa yang dilakukannya sebagai ibadah dengan memenuhi apa yang di perintahkan oleh Allah dan menjauhi segala larangannya.
Apabila seseorang telah melakukan penimbunan barang atau memonopoli komoditi dengan semena-mena, maka orang yang bersangkutan pada hakekatnya telah menarik barang dari pasar sehingga persediaan barang di pasar menjadi berkurang dan langka. Perbuatan semacam ini menunjukkan adanya motivasi mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan bencana dan mudharat yang akan menimpa orang banyak, asalkan dengan cara itu dapat mengeruk untung yang sebanyak-banyaknya. Kemudharatan ini akan bertambah berat jika si pengusaha itulah satu-satunya orang yang menjual barang tersebut atau terjadi kesepakatan dari sebagian pengusaha yang memproduksi maupun menjual barang tersebut untuk mengurangi atau menimbunnya, sehingga kebutuhan masyarakat akan barang tersebut semakin meningkat sehingga harga pun dinaikkan setinggi-tingginya. Bagaimanapun juga dalam hal bahan pokok masyarakat (konsumen) yang sangat membutuhkan akan tetap membelinya meskipun dengan harga yang tinggi dan tidak layak.
Dalam pandangan Islam harga harus mencerminkan keadilan (price equvalence), baik dari sisi produsen maupun dari sisi konsumen. Dalam situasi pasar yang bersaing sempurna harga yang adil ini dapat dicapai dengan sendirinya, sehingga tidak perlu ada intervensi dari pemerintah. Jika para produsen monopolis dibiarkan begitu saja menentukan harganya sendiri, besar kemungkinan harga yang terjadi bukanlah harga yang adil sebab ia akan mencari monopolist rent. Itulah sebabnya Islam melarang keras al-Ihtikar (penimbunan) yang mempunyai tujuan mencari monopolist rent. Untuk itu pemerintah perlu bahkan wajib melakukan intervensi sehingga harga yang terjadi adalah harga yang adil. Dan Islam sangat menjunjung tinggi keadilan.
Pada dasarnya Islam menerima perdagangan bebas. Dalam arti bermuamalah ada kebebasan untuk melakukan aktivitas (freedom to act). Setiap individu dapat melakukan aktivitas ekonominya dengan bebas, kebebasan dalam perspektif ekonomi Islam tentu saja kebebasan yang tidak melanggar kaidah-kaidah yang telah diatur dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan Qiyas para ulama. Karena diharapkan instrumen-instrumen yang dijalankan dengan sitem ekonomi Islam mampu menciptakan simetrisitas antara kesejahteraan individu dengan kesejahteraan masyarakat.
Menurut penulis pada dasarnya Islam tidak melarang monopoli secara mutlak apalagi yang melakukan monopoli adalah negara, namun pandangan Islam berhati-hati terhadap mekanisme penentuan harga didalam monopoli yang cenderung berpotensi menghasilkan kerugian bagi konsumen. Sebab harga ditentukan lebih berorientasi kepada kepentingan produsen saja. Artinya bahwa monopoli jika di asumsikan sebagai al-Ihtikar dengan pengertian pelangkaan barang terhadap barang produksi kebutuhan utama masyarakat dengan menaikkan harta ketika permintaan meningkat maka hal ini adalah di haramkan (monopolistic rent). Dengan ungkapan yang sangat sederhana bahwa Islam pada dasarnya tidak mempermasalahkan apakah suatu perusahaan monopolis atau oligopolis sepanjang tidak mengambil keuntungan di atas normal. namun Islam secara jelas melarang Ihtikar (penimbunan) yaitu mengambil keuntungan di atas normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, atau dalam istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s rent-seeking.
Dalam perdagangan Islam harga harus mencerminkan keadilan, baik dari posisi produsen maupun konsumen. Jika para produsen monopolis dibiarkan begitu saja menentukan harganya sendiri tanpa ada kontrol masyarakat dan lembaga pemerintahan, besar kemungkinan harga yang terjadi bukanlah harga yang adil sebab sangat terbuka peluang untuk melakukan monopolistic rent. Itulah sebabnya Islam melarang keras al-Ihtikar dan bahkan menyamakannya dengan monopoli, sebab ihtikar merupakan perbuatan monopolistic rent. Sehingga dapat diasumsikan bahwa praktek monopoli kurang mendapat simpati dalam Islam karena hal ini sangat rentan mempermainkan harga barang sehingga dapat merugikan konsumen.
·         Hikmah di Balik Larangan Ihtikar
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam(6).
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35: 

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada  jalan Allah  maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.

Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
 




BAB IV
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Ekonomi islam mengambil jalan tengah yaitu membantu dalam menegakkan suatu sistem yang adil dan merata. Sistem ini tidak memberikan kebebasan dan hak milik pribadi secara individual dalam bidang produksi, tidak pula mengikat mereka dengan satu sistem pemerataan ekonomi yang seolah-olah tidak boleh memiliki kekayaan secara bebas. Islam mengatur distribusi harta kekayaan termasuk pendapatan kepada semua masyarakat dan tidak menjadi komoditas diantara golongan orang kaya saja. Selain itu untuk mencapai pemerataan pendapatan kepada masyarakat secara objektif.

B.     SARAN
Penerapan sistem ekonomi islam sangat penting bagi pengembangan perekonomian disetiap Negara terutama pada Negara berkembang yang banyak sumber daya alam dan manusia yang bisa dikelola dengan baik. Harapan ini mungkin bisa menjadi sebuah kenyataan yang akan terjadi dimasa mendatang dimana ketika kita semua telah memahami bahwa sistem ekonomi islam merupakan sistem perkonomian yang tepat untuk meniadakan kemiskinan dengan mensejahterakan setiap umat-Nya.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988)
Ekonomiduniaislam.blogspot.com/. Di acces 29 Maret 2014
Fatimaajja.blogspot.com/. Di acces 05 April 2014
Mannan, Muhammad Abdul, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. DANA BAHKTI PRIMA JASA, 1997)
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal Arifin, dan Dahlia Husin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam jilid II hal 92-93

 




1 komentar:

  1. Bagi anda yang membutuhkan penghasilan pasif..
    Silahkan rekomodasikan pada teman-teman anda di website kami http://titipdana.com ..
    Dapatkan 2% dari setiap invetasi teman anda, oppp jangan lupa daftar terlebih dahulu....

    BalasHapus

Komentar Anda sangat membantu bagi perkembangan blog ini.